JAKARTA, KOMPAS.com - Revisi Undang-Undang Pemilihan Umum tengah digarap oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), untuk dijadikan landasan dalam pemilu serentak 2019. Salah satu yang menjadi perhatian masyarakat terkait sistem pemilihan.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2012-2017 Hadar Nafis Gumay berpendapat bahwa sistem pemilihan proporsional terbuka lebih tepat diterapkan. Dengan demikian, masyarakat benar-benar bisa menentukan pilihannya.
"Saya menganjurkan sistem daftar proposional terbuka. Rakyat yang menentukan pilihannya. Kita baru benar-benar terapkan sistem proporsional terbuka pada pemilu 2009 dan 2014," ujar Hadar dalam diskusi RUU Pemilu di kantor Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Matraman, Jakarta Pusat, Kamis (27/4/2017).
Menurut Hadar, terdapat beberapa kelemahan dalam sistem proporsional terbuka-terbatas dan sistem proporsional tertutup.
(Baca: Jokowi: Revisi UU Pemilu Jangan Terjebak Perangkap Politik Jangka Pendek)
Pertama, dia menilai sebagian besar partai politik saat ini masih mementingkan jaringan pertemanan dan kekerabatan. Sementara dalam sistem proporsional tertutup, partai politiklah yang akan menentukan nomor urut calon anggota legislatif.
Kedua, isu soal politik uang dan perselisihan antar-anggota yang bisa mengakibatkan instabilitas di tubuh parpol.
"Biasa yang disoroti adalah money politic dan caleg sikut-sikutan sehingga bisa merusak partai. Kalau sistem tertutup, maka nomor urutlah yang menentukan dan partai politik yang akan paling menentukan," kata Hadar.
(Baca: Pansus RUU Pemilu Akan Voting Tiga Isu Krusial, Apa Saja?)
Selain itu, kata Hadar, sistem proporsional terbuka adalah sistem yang diinginkan rakyat dan menjadi mandat reformasi.
"Sistem ini baru diterapkan dua kali masa pemilu, jadi belum cukup waktu untuk ambil kesimpulan bahwa sistem ini gagal," tuturnya.
"Jadi, kami harapkan benar-benar terbuka, bukan sistem proporsional terbuka terbatas," kata dia.