Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Dianggap Paksakan Penerapan E-KTP dalam Pemilu

Kompas.com - 02/04/2017, 17:02 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menganggap Indonesia belum sepenuhnya siap menjadikan e-KTP sebagai salah satu syarat administrasi dalam sistem demokrasi.

Menurut Titi, penerapan e-KTP belum bisa diterima secara merata oleh warga negara Indonesia.

"e-KTP dipaksakan sebagai basis administrasi kepemiluan," ujar Titi dalam diskusi di Jakarta, Minggu (2/4/2017).

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dinyatakan bahwa seseorang memiliki hak memilih dan dipilih jika melampirkan salinan e-KTP sebagai salah satu syarat utama.

Padahal, masih banyak WNI yang belum mendapatkan e-KTP karena adanya kasus korupsi dan masalah lainnya.

(Baca juga: Tak Sekedar Rugikan Keuangan Negara, Korupsi e-KTP Dinilai Cederai Demokrasi)

Titi mengatakan, sebelum adanya aturan tersebut, pemerintah sudah mencoba menerapkan e-KTP dalam pemilu 2014.

Menteri Dalam Negeri saat itu, Gamawan Fauzi, menilai e-KTP mampu menyaring Daftar Pemilih Tetap jadi lebih efektif.

Pemerintah saat itu telah diingatkan bahwa pemenuhan hak pilih warga negara tak bisa ditentukan keterpenuhan administrasi kependudukan.

"Tapi saat itu dibilang DPT banyak bocornya. e-KTP bisa jadi penyaring, supaya DPT tidak bocor karena hanya satu NIK," kata Titi Anggraini.

Namun, penerapan itu gagal karena masih sebagian kecil yang menerima kartu tersebut. Tahun berikutnya, penerapan e-KTP sebagai syarat dalam pemilu kembali digaungkan. Lagi-lagi, penerapannya gagal karena penyebaran e-KTP belum merata.

Pada 2016, DPR merevisi Undang-Undang tentang Pilkada dan memasukkan e-KTP sebagai syarat.

Titi Anggraini menyorot Pasal 200A ayat (4) yang berbunyi, "syarat dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih menggunakan Kartu Tanda Penduduk Elektronik terhitung sejak bulan Januari 2019".

Sementara itu, syarat tersebut sudah diterapkan dalam pilkada serentak Februari 2017 kemarin.

"Ternyata pasal itu diabaikan. Saking semangatnya gunakan basis e-KTP sebagai penyusunan DPT, memaksakan penerapan yang diterapkan dalam 2017," kata dia.

Meski begitu, pemilih tetap bisa menggunakan hak pilihnya jika meminta surat keterangan ke Dinas Dukcapil yang menyatakan bahwa belum menerima e-KTP dalam bentuk fisik.

Namun, kata Titi, cukup banyak yang tidak tahu adanya mekanisme tersebut. Permohonan surat keterangan itu dianggap membebani masyarakat karena harus proaktif demi mendapatkan hak pilihnya.

"Yang salah bukan pemilih, tapi yang dibebanin pemilihnya untuk mengurus ke Dukcapil," kata Titi.

"Memang salah siapa e-KTP belum keluar? Kok bisa pede terapkan aturan yang punya persoalan di lapangan dan berpengaruh pada hak konstitusional warga negara," ucap dia.

Kompas TV DPR dan Pemerintah Bahas Revisi UU Pemilu
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Soal Jokowi dan PDI-P, Projo: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Soal Jokowi dan PDI-P, Projo: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Nasional
Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Nasional
Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Nasional
PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

Nasional
Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Nasional
Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com