Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dongeng untuk Indonesia

Kompas.com - 03/03/2017, 20:38 WIB

Modestas Wisa (25), pendiri Sekolah Adat Samabue, menggelar tikar dari rajutan rotan di bawah pohon mangga yang rindang, Sabtu (25/2) siang. Wisa dan 10 murid Sekolah Adat Samabue bersiap-siap memulai pelajaran dongeng atau singara dalam sebutan masyarakat Dayak Kanayatn.

Tak lama kemudian, Liberta Ote (52), salah satu tetua adat setempat, mulai mendongeng di depan siswa Sekolah Adat Samabue, Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, itu. Liberta menceritakan kisah seekor kambing betina yang menjelma jadi manusia karena meminum air kencing manusia.

Seiring waktu, manusia jelmaan itu memiliki tiga anak perempuan: Putri Joada, Putri Lopa, dan Putri Bungsu. Untuk menghidupi ketiga anaknya, ibu itu bekerja keras dengan mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah.

Saat beranjak dewasa, ketiga putrinya diculik dan dijadikan istri oleh si penculik. Sang ibu berusaha mencari anak-anaknya ke kampung-kampung. Akhirnya, ia berhasil menemukan anak pertamanya. Saat bertemu anak pertamanya, sang ibu menyanyikan sebuah lagu: "Putri Lopa, Putri Joada, Putri Bungsu, ini bunga sebatang rencong".

Namun, tak disangka, anak pertamanya malah membencinya. Anak pertamanya memukul pinggang sang ibu hingga patah. Ibu itu pergi dan mencari anak keduanya dan berhasil menemukannya, lalu menyanyikan lagu yang sama. Anak kedua juga membencinya dan memukul tangan sang ibu hingga patah. Perlakuan berbeda saat sang ibu menemukan anak bungsunya. Sang ibu dirawat dengan baik oleh si bungsu.

Seiring waktu, sang ibu semakin tua dan akhirnya meninggal. Sebelum tutup usia, sang ibu berpesan kepada ketiga anaknya. Setelah ia dimakamkan, ketiga anaknya masing-masing harus meletakkan tempayan di atas makam ibunya. Tempayan itu harus dibuka pada hari ketiga setelah kematian ibunya.

Hari ketiga setelah kematian sang ibu, ketiga anak itu pun ke makam dan membuka tempayan. Di tempayan milik anak pertama terdapat tawon. Tawon itu menyengat anak pertama hingga meninggal. Di dalam tempayan anak kedua ditemukan ular, yang menggigit anak kedua hingga meninggal. Sementara tempayan anak bungsu berisi emas dan barang antik dan menjadikan si bungsu kaya raya. Cerita pun usai.

Dongeng menjadi instrumen dalam kearifan lokal untuk mengajarkan nilai-nilai luhur. Dalam kisah itu, Liberta ingin mengajarkan nilai kemanusiaan kepada anak-anak. Sederhananya, bagaimana seorang anak hendaknya menghargai orangtuanya. Anak yang tidak menghargai orangtuanya menuai petaka. Sementara yang menghargai sesama manusia, apalagi orangtua, menuai kebaikan dengan simbol mendapatkan harta di dalam tempayan.

Sarana perjuangan

Sekolah Adat Samabue didirikan awal 2016 sebagai sarana mempertahankan hak masyarakat adat atas hutan dan tanah serta kearifan lokalnya. "Sekarang, hutan kami yang disebut Bukit Samabue terancam dengan adanya izin pertambangan. Padahal, hutan itu memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat sebagai sumber air dan menjaga keseimbangan alam," ungkap Wisa.

Perampasan hutan itu terjadi karena bangsa ini mulai tercerabut dari akarnya. Tidak ada lagi penghargaan terhadap ekosistem. Maka, melalui sekolah adat ini, ia ingin memperkuat kearifan lokal di kalangan muda agar mempertahankan nilai-nilai luhur dalam kearifan lokal. Jika nilai luhur dipertahankan, tidak akan ada perusakan alam.

Sekolah adat itu juga menjadi sarana memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan kebinekaan. Nilai-nilai luhur menjadi identitas bangsa Indonesia. Jika sadar akan identitasnya, manusianya tidak akan mudah terpecah belah dengan perbedaan suku dan agama karena nilai-nilai luhur kebudayaan mengajarkan toleransi. "Relawan kami dari berbagai latar belakang suku dan agama," ujar Wesa.

Penguatan nilai kearifan lokal itu, antara lain, dilakukan melalui pelajaran dongeng. Ada juga tarian tradisional, permainan tradisional, praktik membuat masakan tradisional, dan sejarah. Dalam setiap pelajaran ada nilai-nilai yang ditekankan.

Proses belajar tidak terikat dengan gedung, tetapi langsung datang ke lingkungan dan komunitas dengan bimbingan pengasuh, misalnya ikut dalam aktivitas komunitas. Sekarang ada 120 siswa berusia 5-15 tahun di sekolah adat itu. Waktu belajar tergantung kesepakatan agar tidak mengganggu proses belajar di sekolah formal.

Sebetulnya, di era nenek moyang mereka dahulu, tidak perlu ada sekolah adat khusus seperti ini untuk belajar adat karena lembaga adat masih kuat. Proses internalisasi nilai-nilai dalam kearifan lokal berlangsung secara alami. Ditambah lagi, keinginan belajar dari kalangan muda masa itu juga kuat. Namun, sekarang perlu wadah khusus untuk belajar adat karena lembaga adat mulai luntur dan ketertarikan anak muda mulai beralih.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan menyatakan, keberadaan Sekolah Adat Samabue dengan sendirinya juga meneguhkan kenusantaraan.

Sekolah ini menjawab fenomena maraknya aksi berlatar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan.

(EMANUEL EDI SAPUTRA)
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Maret 2017, di halaman 12 dengan judul "Dongeng untuk Indonesia".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Wapres Kunker ke Mamuju, Saksikan Pengukuhan KDEKS Sulawesi Barat

Wapres Kunker ke Mamuju, Saksikan Pengukuhan KDEKS Sulawesi Barat

Nasional
Momen Jokowi Jadi Fotografer Dadakan Delegasi Perancis saat Kunjungi Tahura Bali

Momen Jokowi Jadi Fotografer Dadakan Delegasi Perancis saat Kunjungi Tahura Bali

Nasional
Berjasa dalam Kemitraan Indonesia-Korsel, Menko Airlangga Raih Gelar Doktor Honoris Causa dari GNU

Berjasa dalam Kemitraan Indonesia-Korsel, Menko Airlangga Raih Gelar Doktor Honoris Causa dari GNU

Nasional
Nadiem Ingin Datangi Kampus Sebelum Revisi Aturan yang Bikin UKT Mahal

Nadiem Ingin Datangi Kampus Sebelum Revisi Aturan yang Bikin UKT Mahal

Nasional
Saksi Kemenhub Sebut Pembatasan Kendaraan di Tol MBZ Tak Terkait Kualitas Konstruksi

Saksi Kemenhub Sebut Pembatasan Kendaraan di Tol MBZ Tak Terkait Kualitas Konstruksi

Nasional
Puan Maharani: Parlemen Dunia Dorong Pemerintah Ambil Langkah Konkret Atasi Krisis Air

Puan Maharani: Parlemen Dunia Dorong Pemerintah Ambil Langkah Konkret Atasi Krisis Air

Nasional
Hari ke-10 Keberangkatan Haji: 63.820 Jemaah Tiba di Madinah, 7 Orang Wafat

Hari ke-10 Keberangkatan Haji: 63.820 Jemaah Tiba di Madinah, 7 Orang Wafat

Nasional
Jokowi: Butuh 56 Bangunan Penahan Lahar Dingin Gunung Marapi, Saat Ini Baru Ada 2

Jokowi: Butuh 56 Bangunan Penahan Lahar Dingin Gunung Marapi, Saat Ini Baru Ada 2

Nasional
Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 Bersandar di Jakarta, Prajurit Marinir Berjaga

Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 Bersandar di Jakarta, Prajurit Marinir Berjaga

Nasional
Erupsi Gunung Ibu, BNPB Kirim 16 Juta Ton Bantuan Logistik untuk 1.554 Pengungsi

Erupsi Gunung Ibu, BNPB Kirim 16 Juta Ton Bantuan Logistik untuk 1.554 Pengungsi

Nasional
Pesawat Terlambat Bisa Pengaruhi Layanan Jemaah Haji di Makkah

Pesawat Terlambat Bisa Pengaruhi Layanan Jemaah Haji di Makkah

Nasional
Indonesia-Vietnam Kerja Sama Pencarian Buron hingga Perlindungan Warga Negara

Indonesia-Vietnam Kerja Sama Pencarian Buron hingga Perlindungan Warga Negara

Nasional
Survei IDEAS: Penghasilan 74 Persen Guru Honorer di Bawah Rp 2 Juta

Survei IDEAS: Penghasilan 74 Persen Guru Honorer di Bawah Rp 2 Juta

Nasional
Dewas KPK Tunda Putusan Sidang Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Dewas KPK Tunda Putusan Sidang Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Nasional
Jokowi Minta Relokasi Rumah Warga Terdampak Banjir di Sumbar Segera Dimulai

Jokowi Minta Relokasi Rumah Warga Terdampak Banjir di Sumbar Segera Dimulai

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com