Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Diminta Lebih Sensitif Saat Ada Dugaan Suap di Lembaga Lain

Kompas.com - 01/03/2017, 21:53 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta lebih peka melihat dugaan adanya korupsi yang ada di lembaga lain, termasuk di lembaga peradilan.

Hal itu disampaikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menanggapi sidang etik Majelis Kehormatan Hakim (MKH) terhadap Hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Riau, Pangeran Napitupulu yang digelar di Mahkamah Agung (MA) pada Selasa (28/2/2017).

Menurut Feri, KPK harusnya berinisiatif mengambil tindakan jika sudah ada petunjuk telah terjadi kasus korupsi di suatu lembaga. Meskipun suatu lembaga sedang melakukan sidang etik, namun KPK bisa saja menelusuri jika ada kemungkinan terjadi korupsi. 

"KPK harus tanggap, ini kan (sidang MKH-nya) terbuka untuk umum, harus respons dong. KPK-nya, sensitif dong," kata Feri di Jakarta, Rabu (1/3/2017).

Feri menambahkan, KPK tidak harus menunggu adanya laporan dari masyarakat untuk melakukan penyelidikan. Sebab, jika dicontohkan pada kasus Napitupulu, sudah terungkap adanya pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus korupsi.

"Ini pidana, bukan delik aduan. Pidana itu ada bukti. Bukti terbuka seperti itu harus diambil alih KPK," kata dia.

Menurut Feri, KPK perlu membuktikan keseriusannya dalam memberantas korupsi. Inisiatif menyelidiki kasus Napitupulu bisa menjadi langkah KPK menunjukkan keseiusannya itu. Selain itu, KPK diharap tidak melakukan tebang pilih dalam mengatasi kasus korupsi.

"Kalau peradilan mau dibenahi, KPK harus sensitif. Kalau hakim bermasalah, ambil semua," kata peneliti Center for International and Alumni Relation (CIAR) tersebut.

Dalam sidang tersebut, MKH menilai Napitupulu terbukti melanggar etik lantaran menjadi perantara pengurusan perkara, sehingga diberhentikan.

Ia diduga menerima uang sebesar Rp 1 miliar dari pihak yang berperkara di Pengadilan Negeri Rantau Prapat, Sumatera Utara pada 2009.

(Baca: Dinilai Terbukti Jadi Perantara Pengurusan Perkara, Hakim PT Pekanbaru Diberhentikan)

Saat itu, ia masih bertugas sebagai Ketua Pengadilan Negeri Buntok, Kalimantan Tengah. Uang tersebut diberikan secara berangsur dalam satu hari.

Rinciannya, pembayaran pertama Rp 50 juta, pembayaran kedua sebesar Rp 300 juta, pembayaran ketiga sebesar Rp 500 juta dan pembayaran keempat sebesar Rp 150 juta.

Kemudian pada 2014, Napitupulu dilaporkan ke KY oleh pihak pemberi uang tersebut. Saat itu, Napitupulu sudah bertugas sebagai Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Jambi.

Kasus pengurusan perkara oleh Napitipulu baru disidangkan di MKH sekitar akhir 2016. Sementara Pangeran sudah bertugas di Pengadilan Tinggi, Pekanbaru, Riau.

Namun, Napitupulu tidak terima atas keputusan MKH. Ia menilai, selama diproses di MKH, tidak ada penjelasan mengenai alasan dari pihak terlapor melaporkan dirinya ke Komisi Yudisial pada 2014.

(Baca: Hakim Napitupulu Tak Terima Diberi Sanksi Pemberhentian oleh MKH)

Kompas TV Artidjo: Saya Pernah Membebaskan Orang - Satu Meja

Ia menilai, selama diproses di MKH, tidak ada penjelasan mengenai alasan dari pihak terlapor melaporkan dirinya ke Komisi Yudisial pada 2014.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kondisi Tenda Jemaah Haji Memprihatikan, Gus Muhaimin Serukan Revolusi Penyelenggaraan Haji

Kondisi Tenda Jemaah Haji Memprihatikan, Gus Muhaimin Serukan Revolusi Penyelenggaraan Haji

Nasional
Pakar Sebut Tak Perlu Ada Bansos Khusus Korban Judi 'Online', tapi...

Pakar Sebut Tak Perlu Ada Bansos Khusus Korban Judi "Online", tapi...

Nasional
Harun Masiku Disebut Nyamar jadi Guru di Luar Negeri, Pimpinan KPK: Saya Anggap Info Itu Tak Pernah Ada

Harun Masiku Disebut Nyamar jadi Guru di Luar Negeri, Pimpinan KPK: Saya Anggap Info Itu Tak Pernah Ada

Nasional
Eks Penyidik: KPK Tak Mungkin Salah Gunakan Informasi Politik di Ponsel Hasto

Eks Penyidik: KPK Tak Mungkin Salah Gunakan Informasi Politik di Ponsel Hasto

Nasional
Jemaah Haji Diimbau Tunda Thawaf Ifadlah dan Sa'i Sampai Kondisinya Bugar

Jemaah Haji Diimbau Tunda Thawaf Ifadlah dan Sa'i Sampai Kondisinya Bugar

Nasional
Kasus WNI Terjerat Judi 'Online' di Kamboja Naik, RI Jajaki Kerja Sama Penanganan

Kasus WNI Terjerat Judi "Online" di Kamboja Naik, RI Jajaki Kerja Sama Penanganan

Nasional
Eks Penyidik KPK: Ponsel Hasto Tidak Akan Disita Jika Tak Ada Informasi soal Harun Masiku

Eks Penyidik KPK: Ponsel Hasto Tidak Akan Disita Jika Tak Ada Informasi soal Harun Masiku

Nasional
Soal Duet Anies-Kaesang, Relawan Anies Serahkan ke Partai Pengusung

Soal Duet Anies-Kaesang, Relawan Anies Serahkan ke Partai Pengusung

Nasional
MPR Khawatir Bansos yang Akan Diberikan ke Korban Judi Online Malah Dipakai Berjudi Lagi

MPR Khawatir Bansos yang Akan Diberikan ke Korban Judi Online Malah Dipakai Berjudi Lagi

Nasional
Eks Penyidik KPK: Kasus Harun Masiku Perkara Kelas Teri, Tapi Efeknya Dahsyat

Eks Penyidik KPK: Kasus Harun Masiku Perkara Kelas Teri, Tapi Efeknya Dahsyat

Nasional
Siapa Anggota DPR yang Diduga Main Judi Online? Ini Kata Pimpinan MKD

Siapa Anggota DPR yang Diduga Main Judi Online? Ini Kata Pimpinan MKD

Nasional
Eks Penyidik KPK Anggap Wajar Pemeriksaan Hasto Dianggap Politis, Ini Alasannya

Eks Penyidik KPK Anggap Wajar Pemeriksaan Hasto Dianggap Politis, Ini Alasannya

Nasional
Rupiah Alami Tekanan Hebat, Said Abdullah Paparkan 7 Poin yang Perkuat Kebijakan Perekonomian

Rupiah Alami Tekanan Hebat, Said Abdullah Paparkan 7 Poin yang Perkuat Kebijakan Perekonomian

Nasional
DPR Sebut Ada Indikasi Kemenag Langgar UU Karena Tambah Kuota Haji ONH Plus

DPR Sebut Ada Indikasi Kemenag Langgar UU Karena Tambah Kuota Haji ONH Plus

Nasional
Punya Kinerja Baik, Pertamina Raih Peringkat 3 Perusahaan Terbesar Fortune 500 Asia Tenggara 2024

Punya Kinerja Baik, Pertamina Raih Peringkat 3 Perusahaan Terbesar Fortune 500 Asia Tenggara 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com