JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melaporkan dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ke Ombudsman RI, Selasa (14/2/2017).
Pengacara publik dari YLBHI Muhammad Isnur menilai bahwa Ganjar dan seluruh jajaran Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) terkait izin lingkungan kegiatan penambangan di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
"Kami menilai ada proses maladministrasi yang dilakukan oleh Gubernur dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah termasuk Bupati Rembang dalam proses pelaksanaan perintah putusan MA," ujar Isnur saat ditemui di kantor Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (14/2/2017).
Isnur menjelaskan, pada sidang peninjauan kembali pada Oktober 2016, MA memenangkan gugatan petani pegunungan Kendeng dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap PT Semen Indonesia.
Kemenangan tersebut membuat izin lingkungan yang diterbitkan Gubernur Jawa Tengah untuk PT Semen Indonesia harus dibatalkan.
Namun, Ganjar kemudian mengeluarkan keputusan baru nomor 660.1/30/2016 tentang izin lingkungan pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia.
Keputusan tersebut sekaligus memberikan izin penambangan kepada PT Semen Indonesia yang pada putusan lama tertulis PT Semen Gresik tahun 2012.
Pada 16 Januari 2017, Ganjar kemudian menerbitkan Surat Keputusan (SK) Gubernur No 6601/4 Tahun 2017.
SK tersebut otomatis mencabut SK Gubernur nomor 660.1/30 Tahun 2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik Semen PT Semen Indonesia.
(Baca juga: SK Pencabutan Pabrik Semen di Rembang Dianggap Multitafsir)
"Seharusnya putusan MA ditaati secara keseluruhan, tidak kemudian mengangkangi dan mengelabui hukum dengan membuat izin baru meski bentuknya addendum, penambahan dari izin yang lama. Sementara Izin pokoknya dibatalkan oleh pengadilan. Jika tidak ditaati ini mempermalukan MA sebagai lembaga peradilan," ucap Isnur.
Selain itu, Isnur menuturkan, dugaan maladministrasi juga terlihat dari proses penerbitan izin baru yang tergesa-gesa.
Menurut Isnur, sehari setelah SK diterbitkan, PT Semen Indonesia menyerahkan dokumen dokumen addendum Amdal dan RKL-RPL (Rencana Pengelolaan Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan) terbaru sebagai syarat memproses izin lingkungan.
Sementara itu warga yang menolak keberadaan pabrik semen juga tidak dilibatkan dalam pembuatan dokumen tersebut sebagaimana tercantum dalam putusan PK MA.
"Bayangkan sehari sudah ada ribuan lembar dokumen Amdal yang baru. Sehari setelah itu, tanggal 18 Januari, sudah ada surat perintah dan surat permintaan untuk sidang Amdal tanggal 2 Februari 2017," tutur Isnur.
"Kalau ingin melibatkan warga, harusnya ada musyawarah. Ini malah ditunjuk langsung lima kepala desa. Kemudian besoknya, tanggal 19 Januari 2017, dokumen itu sudah sampai di tangan warga. Itu sangat aneh karena prosesnya begitu cepat," ucapnya.