JAKARTA, KOMPAS.com -Anggota Komisi III Agun Gunandjar mempertanyakan penyikapan Dewan Pers atas pemberitaan bohong yang merugikan.
Ia mencontohkan kasus yang menimpa anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Aeko Hendro Purnomo alias Eko Patrio.
Beberapa waktu lalu, Eko sempat diberitakan di sejumlah media karena diduga menyatakan upaya polisi menangkap teroris merupakan pengalihan isu. Eko membantah berita tersebut.
Ia mengaku tak pernah diwawancarai oleh tujuh media yang menulis bila ia mengatakan penangkapan teroris adalah pengalihan isu.
"Bagaimana menyikapi pemberitaan media yang seperti itu (kasus Eko), apa enggak bisa dipidana? Karena kan sudah merugikan orang lain," kata Agun, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dewan Pers, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/2/2017).
Rapat itu membahas Rancangan Undang-undang KUHP terkait tindak pidana penerbitan dan percetakan.
Terkait hal itu, Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo mengatakan, harus dibedakan terlebih dahulu antara media pers dan nonpers.
Media pers, kata Yosep, memiliki penyikapan tersendiri jika melakukan kesalahan dalam pemberitaan.
Mereka terikat oleh Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Selain itu, media pers wajib memiliki badan hukum memiliki, kejelasan alamat redaksi, dan identitas penanggung jawab pemberitaan.
Dengan demikian, bila ada kesalahan pemberitaan bisa dimintai pertanggungjawaban.
"Untuk kasus itu (Eko Patrio), kami telusuri terlebih dahulu situsnya dan ternyata hampir semua tidak tergolong media pers karena alamat dan penanggung jawab redaksi tidak jelas, karena itu kami serahkan ke polisi," ujar Yosep.
Pimpinan RDP, Benny Kabur Harman, lantas mengomentari ihwal mekanisme hak jawab oleh media pers jika membuat berita yang keliru.
Menurut Benny, porsi hak jawab seringkali terlalu sedikit dibanding berita sebelumnya yang telah menyebar.
Mengenai hal ini, Yosep mengatakan, mekanisme hak jawab yang dimiliki media pers harus dilalukan secara berimbang.