JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai, Putusan MK nomor perkara 25/PUU-XIV/2016 terkait Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menghambat pemberantasan korupsi.
MK sebelumnya memutuskan bahwa kata "dapat" yang tertuang dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor dihapuskan.
Dengan demikian, tindak pidana korupsi menurut pasal tersebut harus memenuhi adanya kerugian negara atau perekonomian negara yang nyata.
Adapun bunyi Pasal 2 ayat (1) UU tipikor, “(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Kemudian, Pasal 3 UU TIPIKOR: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
PSHK menilai, putusan MK tersebut tidak tepat dan mengaburkan pengertian korupsi itu sendiri.
"Apabila ditelisik lebih jauh, tidak ada persoalan norma pada kedua pasal itu. Inti delik (bestandelen) dari kedua pasal itu adalah 'memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum' dan bukan pada 'dapat merugikan keuangan negara'," kata Peneliti PSHK, Miko Ginting melalui keterangan tertulisnya, Kamis (26/1/2017).
Ia mengatakan, kedua pasal itu hanya menempatkan unsur "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" sebagai elemen delik.
Apalagi, MK sebelumnya melalui Putusan perkara Nomor 003/PUU-IV/2006 sudah menyatakan bahwa pemaknaan merugikan keuangan atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi.
Oleh karena itu, kata Miko, apabila suatu tindakan memenuhi unsur memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum sudah terpenuhi, maka tindak pidana korupsi sudah terjadi.
Sebaliknya, sudah ada kerugian negara tetapi unsur memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum tidak terpenuhi, maka tindak pidana korupsi belum terjadi.
Menurut Miko, interpretasi dan pelaksanaan penegakan hukum selama ini turut mengaburkan pengertian kedua pasal itu.
Seakan-akan harus ada kerugian negara untuk terpenuhinya delik menurut Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi.
"Penegak hukum cenderung menunggu dan bergantung pada hasil audit pemeriksa keuangan. Hal ini dilakukan hanya untuk tujuan memudahkan pembuktian. Tidak ada persoalan norma dari kedua pasal itu," kata dia.
Namun, penghilangan kata "dapat" pada kedua pasal itu oleh MK membawa pengertian yang sama sekali jauh berbeda.