JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil survei Indeks Kinerja HAM yang dilakukan Setara Institute menunjukkan bahwa kebebasan beragama/berkeyakinan, kebebasan berekspresi, serta kebebasan berserikat di Indonesia masih buruk.
“Pada survei 2016 terdapat dua variabel, yakni hak kebebasan beragama/berkeyakinan dan hak berekspresi dan berserikat, yang skornya turun jika dibandingkan pada tahun 2015,” ujar peneliti bidang HAM Setara Institute, Ahmad Fanani Rosyidi, di Kantor Setara Institute, Jakarta Selatan, Senin (12/12/2016).
Survei ini dilakukan untuk memberikan gambaran berdasarkan persepsi ahli tentang situasi penegakan HAM setahun belakangan.
Dalam survei itu, Setara mengambil sebanyak 202 responden ahli dengan beragam latar belakang seperti akademisi, peneliti, aktivis, dan tokoh masyarakat.
Survei tersebut menggunakan delapan variabel sebagai alat ukur utama, yakni penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, kebebasan berekspresi dan berserikat, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta hak rasa aman dan perlindungan warga negara.
Variabel lainnya adalah penghapusan hukuman mati, penghapusan diskriminasi, hak atas ekonomi, sosial dan budaya, serta rencana aksi penegakan HAM dan kinerja lembaga HAM.
(Baca juga: Setara Institute: Belum Ada Keberpihakan Politik Pemerintah terhadap Penegakan HAM)
Ahmad menyampaikan, pada survei tahun 2016, nilai variabel hak kebebasan berekspresi dan berserikat adalah 2,10.
Sementara itu, pada survei tahun 2015, nilai untuk variabel ini lebih tinggi, yakni 2,18 dengan skala penilaian 0-7.
Menurut analisis Ahmad, penurunan nilai ini dipicu oleh meningkatnya pembatasan kebebasan berekspresi melalui praktik kriminalisasi terhadap aktivis dan jurnalis.
Pembatasan tersebut, kata Ahmad, banyak terjadi di wilayah Papua.
Setara Institute mencatat, sepanjang tahun 2016 sebanyak 29 orang mengalami kriminalisasi, 2.397 orang ditangkap saat berunjuk rasa, 13 orang dibunuh, 68 orang ditembak, dan 2 peristiwa percobaan pembunuhan.
Di luar Papua, kriminalisasi terhadap aktivis HAM pun meningkat. Pada 2015 telah terjadi 23 peristiwa kriminalisasi, kemudian pada 2016 terjadi 32 peristiwa dengan 213 aktivis yang menjadi korban.
Sementara itu, catatan Setara juga menunjukkan adanya 46 peristiwa kekerasan yang dialami oleh jurnalis. Ahmad juga melansir data dari Papuan Behind Bars terkait tahanan politik.
Tercatat, hingga Maret 2016, tapol Papua yang belum dibebaskan. Dari monitoring Setara Institute terdapat 41 orang Papua yang masih menjadi tapol.
“Menurut kami, Papua menjadi daerah yang memiliki status darurat kebebasan berekspresi,” kata Ahmad.