JAKARTA, KOMPAS.com - Hari ini dunia Internasional merayakan Hari Hak Asasi Manusia sebagai tanda lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 68 tahun silam.
Tidak seperti umumnya perayaan yang penuh sukacita, hari HAM di Indonesia justru menjadi momentum untuk menagih janji Pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Sejumlah kalangan pegiat HAM menilai, selama dua tahun masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo belum memberikan perhatian terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Sampai saat ini Pemerintah belum memiliki konsep penyelesaian kasus melalui jalur yudisial maupun non yudisial. Situasi ini tidak sejalan dengan pidato Presiden Jokowi saat hari HAM 2014.
Saat itu dia menekankan pentingnya menjunjung hak asasi manusia sebagai dasar hubungan pemerintah dan rakyat.
Selain itu dia juga menyinggung soal rekonsiliasi menyeluruh dan pengadilan HAM ad hoc sebagai dua mekanisme penyelesaian yang akan dilalukan.
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, hingga saat ini belum ada satupun janji-janji dalam Nawa Cita terkait HAM yang dijalankan oleh Presiden Jokowi.
“Janji penuntasan pelanggaran HAM masa lalu tidak pernah memperoleh perhatian dari Jokowi, meski eksplisit disebutkan dalam Nawa Cita. Pemerintah nyaris tidak punya sikap dan roadmap bagaimana pemajuan, penghormatan dan pemenuhan HAM akan diintegrasikan dalam proses pembangunan negara,” ujar Hendardi di Jakarta, Jumat (9/12/2016).
Selain itu Hendardi juga melihat adanya kontradiksi dalam kebijakan Pemerintah. Saat Bali Democracy Forum, Jokowi membanggakan kemampuan negara mengelola kemajemukan.
Namun, fakta lapangan menunjukkan sebaliknya, bahwa pemerintah abai memajukan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Begitu juga dalam bidang legislasi. Pemerintah, kata Hendardi giat melakukan reformasi kebijakan bidang ekonomi, tetapi pada saat yang bersamaan abai memastikan produk legislasi yang potensial merampas hak asasi manusia.
Hendardi berpendapat revisi UU ITE justru menjadikan warga rentan dikriminalisasi dan mengancam kebebasan berekspresi.
Sementara dalam draf revisi UU Terorisme juga terdapat beberapa pasal yang rentan pelanggaran HAM seperti pasal pelibatan TNI dan perpanjangan masa penangkapan terduga teroris.
“Secara umum Pemerintah ini tidak memiliki langkah yang jelas tentang agenda penegakan HAM dan belum menunjukkan keberpihakan politik pada pengungkapan kasus masa lalu, penanganan kasus masa kini dan politik legislasi yang kondusif. Hal itu penting untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM di masa yang akan datang,” kata Hendardi.
Hal senada diungkapkan oleh Kepala Divisi Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Feri Kusuma.