JAKARTA, KOMPAS.com - Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dinilai menjadi sebuah contoh bagaimana kekuatan media sosial kini sangat berpengaruh pada kontestasi politik.
Trump terpilih sebagai presiden AS karena mengandalkan media sosial. Sebab, sangat sedikit media arus utama di Amerika Serikat yang mendukung calon presiden dari Partai Republik itu. Media mainstream justru banyak mendukung calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton.
"Donald Trump hanya didukung enam media besar. Tapi dia andalkan Twitter dan sosmed," kata wartawan senior Uni Zulfiani Lubis dalam diskusi "Politik dan Media Sosial" di Jakarta, Sabtu (10/12/2016).
Uni mengatakan, berkembangnya media sosial hingga bisa mengalahkan media arus utama ini memang bisa berdampak negatif. Sebab, informasi yang berkembang di media sosial seringkali bersifat hoax atau palsu.
Namun ia juga mengingatkan bahwa sejak lama, beberapa media arus utama kerap berpihak kepada kelompok politik tertentu. Akibatnya, demi membela kelompok yang didukung, media juga kerap kali menampilkan berita yang tidak objektif dan bias.
Kemunculan media sosial dianggap bisa mengoreksi berita-berita yang bias di media mainstream. "Itulah the beuaty of sosmed, ada wisdom of crowd," kata dia.
Hal serupa disampaikan Airlangga Pribadi, ahli Ilmu Politik Universitas Airlangga Pribadi. Menurut dia, kemenangan Donald Trump membuktikan bahwa masyarakat saat ini menyenangi isu-isu provokatif di media sosial.
"Bukan informed yang dikejar, tapi bagaimana how to provoked," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.