JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan, pimpinan DPR telah menerima surat permohonan pergantian Ketua DPR dari Partai Golkar.
Golkar ingin mengembalikan Setya Novanto sebagai Ketua DPR menggantikan Ade Komaruddin.
"Iya, surat masuk kemarin sore. Ada dua surat, yakni dari DPP yang ditandatangani Ketua Harian Golkar Nurdin Halid dan Sekretaris Jenderal Golkar Idrus Marham. Dari Fraksi ditandatangani Ketua Fraksi Kahar Muzakir dan Sekretaris Aziz Syamsuddin," kata Agus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/11/2016).
(baca: Apa Alasan Golkar Ingin Setya Novanto Kembali Jadi Ketua DPR?)
Nantinya, kata Agus, isi surat tersebut akan dibahas dalam Rapat Pimpinan DPR. Hasil pembahasan Rapat Pimpinan akan dibawa ke Badan Musyawarah, lalu dibacakan di Rapat Paripurna.
Setelah dibacakan di Rapat Paripurna sebagai surat masuk, permohonan pergantian Ketua DPR akan dibahas di Badan Musyawarah oleh seluruh fraksi.
Agus mengatakan, setelah ada kesepakatan dari semua fraksi, hasilnya akan dibawa kembali ke Rapat Paripurna dan disetujui seluruh anggota.
(baca: Soal Pergantian Ketua DPR, Ade Komarudin Akan Konsultasi dengan Aburizal)
Saat ditanya apakah hari ini akan mengadakan Rapat Pimpinan, Agus menjawab belum mengetahuinya. Sebab, kata Agus, dua Pimpinan DPR lainnya tengah berada di luar negeri.
"Tapi bisa saja hari ini, kalau hari ini tiba-tiba ada dua pimpinan lainnya ya bisa langsung digelar rapatnya, minimal 3 pimpinan supaya kuorom," lanjut Agus.
Rapat pleno DPP Partai Golkar yang memutuskan Novanto kembali menjadi Ketua DPR dilakukan pada Senin (21/11/2016).
(baca: Golkar Siapkan Tempat yang Layak untuk Ade Komarudin jika Dicopot dari Ketua DPR)
Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan, keputusan ini diambil dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi terkait kasus "Papa Minta Saham" yang menyeret nama Novanto.
Keputusan MK tersebut dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI yang tidak pernah menjatuhi hukuman untuk Novanto.
Adapun, Novanto mundur dari kursi ketua DPR pada Desember 2015 lalu karena tersangkut kasus "Papa Minta Saham".
Ia dituding mencatut nama Jokowi untuk meminta saham kepada PT Freeport Indonesia.