Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Walhi Nilai Pemerintah Langgar Hukum jika Lanjutkan Reklamasi Teluk Jakarta

Kompas.com - 15/09/2016, 13:59 WIB
Dimas Jarot Bayu

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup menilai dilanjutkannya proyek reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta sebagai wujud inkonsistensi pemerintah dalam penegakan hukum di Indonesia.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati mengatakan, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan tidak menaati hukum dan perundang-undangan yang berlaku dengan melanjutkan proyek reklamasi Pulau G.

Sebab, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah memutuskan bahwa proyek reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta ditunda sampai berkekuatan hukum tetap dengan pertimbangan banyaknya perundang-undangan yang dilanggar.

"Apa yang dilakukan oleh Menko Kemaritiman merupakan tamparan keras bagi Presiden Joko Widodo," kata Nur Hidayati dalam siaran pers, Kamis (15/9/2016).

"Pada berbagai kesempatan, Presiden berkomitmen untuk menegakkan hukum, namun justru pemerintah sendiri yang bukan hanya tidak menaati hukum, tapi juga menodai supremasi hukum dengan melawan perintah pengadilan secara terbuka," ujarnya.

Menurut Nur, apa yang dilakukan oleh Luhut akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia.

Luhut sedang memperlihatkan dan mempraktikkan model pembangunan serampangan dengan melabrak konstitusi.

"Bahwa kejahatan korporasi difasilitasi oleh negara, bahkan melalui cara-cara yang melanggar hukum sekalipun. Pada akhirnya menjadi sangat wajar jika negara tidak memiliki wibawa di mata korporasi," ujar Nur.

(Baca juga: Ini Wanti-wanti Istana untuk Menteri yang Urus Reklamasi Teluk Jakarta)

Selain itu, Walhi khawatir praktik pemerintah pusat ini dijadikan contoh oleh pemerintah daerah yang tengah gencar melakukan reklamasi.

Ini seperti di Teluk Benoa, Makassar, Teluk Palu, Teluk Kendari, Manado, Balikpapan, dan Maluku Utara.

"Ini juga akan memberi contoh bagi pemda yang menyediakan kawasan untuk diambil tanah dan pasirnya sebagai bahan material reklamasi, antara lain dari Banten, NTB, Jawa Timur, dan Jawa Barat," kata Nur Hidayati.

"Penghancuran kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil semakin mendapatkan legitimasi, karena diamini oleh Pemerintah Pusat," ucapnya.

(Baca juga: PKS Minta Kelanjutan Reklamasi Teluk Jakarta Tunggu Proses Hukum Berakhir)

Nur mengatakan, pemerintah pusat juga telah gagal memahami bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik adalah hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang.

Menurut Nur, urusan reklamasi kawasan pesisir dan laut bukan hanya perkara teknis yang berujung pada rekomendasi rekayasa teknologi.

Persoalan ini juga melingkupi ruang hidup dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, selain aspek lingkungan hidup.

"Artinya Menko Kemaritiman berpandangan sempit dan bahkan sesat pikir, bahwa persoalan lingkungan hidup dapat diselesaikan secara teknis semata," kata dia.

Selain itu, Walhi juga menilai dilanjutkannya proyek reklamasi itu menandakan Menko Kemaritiman tidak memiliki kapasitas memahami perencanaan dan pembangunan sebuah kawasan yang berkelanjutan dan berkeadilan, baik bagi lingkungan hidup maupun sumber kehidupan rakyat.

Kompas TV Menko Kemaritiman Masih Mengkaji Proyek Reklamasi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com