JAKARTA, KOMPAS.com - Memang lain jika yang berkumpul adalah budayawan dan seniman. Bahkan meskipun seorang Presiden hadir di tengah-tengah mereka, prinsip kesamaan dan keterbukaan sangat dijunjung tinggi satu sama lain.
Tidak heran jika suatu topik yang serius bisa disampaikan dengan kelakar tawa, cenderung satir, tetapi tetap santun didengar. Suasana itulah yang terjadi di Galeri Nasional, Selasa (23/8/2016) sore, di mana Presiden Joko Widodo bertemu dengan sejumlah budayawan, cendekiawan, seniman, sastrawan, serta beberapa pemikir.
Suasana jauh dari kesan kaku dan formal. Sebaliknya, pertemuan untuk kedua kalinya sejak akhir 2015 lalu itu tampak lepas dan menyegarkan pikiran mereka. Pertemuan itu berlangsung tertutup.
Awak media hanya dapat menunggu di luar gedung. Namun, suara tawa menggelegar terdengar sampai ke luar ruangan.
Presiden "ndeso"
Budayawan sekaligus sastrawan Radhar Panca Dahana menuturkan, ada salah seorang rekannya yang menyampaikan pesan bermakna bagi Jokowi dalam pertemuan itu. Namun, pesan itu disampaikan dengan gaya tokoh pewayangan, Punakawan. Jenaka, tetapi mengena.
"Salah satu teman mengatakan (kepada Jokowi), Anda ini presiden yang dari tujuh presiden sebelumnya, paling ndeso," ujar Radhar.
Sontak, tawa seisi ruangan meledak. Bahkan, suara tawa itu terdengar sampai luar ruangan acara yang tertutup.
Sang budayawan yang tidak disebutkannya namanya oleh Radhar itu kemudian mengatakan bahwa wajah Jokowi beda dengan wajah presiden Indonesia terdahulu yang disebutnya memiliki wajah kaum kota.
(Baca: Saat Budayawan "Cela" Jokowi Presiden Paling "Ndeso")
Lantaran mukanya yang ndeso, Jokowi pun diminta agar kebijakan-kebijakannya tak berorientasi pada kota melulu, tetapi juga memprioritaskan masyarakat desa.
"Infrastruktur itu jangan fokus di perkotaan. Ngabis-ngabisin duit aja. Yang penting itu ada di desa," ujar Radhar.
Menurut Radhar, pesan itu sangat mengena. Jokowi, kata dia, mengangguk-anggukkan kepalanya sembari ikut tertawa.
"Kami itu menyampaikan sesuatu tidak dengan cara hard. Tidak dengan kata kasar. Tidak pula dengan retorika njelimet. Tapi dengan kelakar yang mungkin lambat diterima otak, tetapi hati dengan cepat mampu menangkapnya," ujar Radhar.
(Baca: Disebut 'Ndeso', Iriana Cubit Pinggang Jokowi)
Selain itu, para budayawan dan cendekiawan meminta Jokowi menyeimbangkan antara pembangunan fisik dan pembangunan kebudayaan. Sebab, pembangunan fisik tanpa pembangunan kebudayaan adalah sia-sia.
Contoh konkretnya adalah membangun infrastruktur-infrastruktur pengembangan budaya, menggerakkan kegiatan-kegiatan berbasis kebudayaan, dan sebagainya. Pemerintah diminta tidak melupakan sesuatu yang disebut Radhar sebagai identitas bangsa.
Bahasa Indonesia diganti kesusastraan
Sastrawan Ahmad Tohari juga memberikan masukan yang spesifik kepada Presiden. Pria yang terkenal melalui triloginya pada era '80-an itu meminta pemerintah mendorong peserta didik mengonsumsi buku-buku kesusastraan.
"Indonesia sekarang ini sedang krisis kesusastraan. Pengadaan buku sastra rendah, minat baca juga rendah, daya serap masyarakat terhadap sastra juga rendah. Jadi saya kira negara harus hadir mengatasi masalah ini," ujar Tohari.
(Baca: Jokowi: Meski Wajah "Ndeso", Otak Saya Internasional)
Secara lugas, Tohari meminta pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memborong buku sastra di pasaran untuk dibagikan kepada peserta didik. Bahkan, Tohari juga meminta mata pelajaran Bahasa Indonesia diubah nomenklaturnya menjadi mata pelajaran Kesusastraan.
"Jadi pelajaran Bahasa Indonesia itu harusnya nempel ke pelajaran Kesusastraan. Sastralah yang menjadi jalur utama sebab sastra inilah yang membangun karakter," ujar Tohari.