Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menlu: Pemerintah RI Menentang Bayar Tebusan untuk Bebaskan Sandera

Kompas.com - 11/07/2016, 17:19 WIB
Rakhmat Nur Hakim

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan wacana operasi bersama dengan Filipina dalam upaya pembebasan tujuh WNI yang disandera bukanlah hal baru.

Hal tersebut bahkan telah dibahas sejak tahun 1975 oleh kedua negara yang perbatasan wilayah perairannya saling berdekatan itu.

"Nah, dalam upaya pembebasan WNI kali ini, pesan itulah yang secara kuat akan kami sampaikan, sebab Pemerintah Indonesia sama sekali menentang upaya pembebasan sandera dengan cara membayar," ujar Retno saat diwawancarai di Kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), di Jakarta Pusat, Senin (11/7/2016).

(Baca: Bahas Pembebasan WNI, Menhan Akan Bertemu Menhan Malaysia dan Filipina di Kuala Lumpur)

Retno menyatakan, dalam perjanjian bilateral tahun 1975 antara Indonesia dan Filipina, terdapat tiga elemen kerja sama dalam hal pengamanan wilayah perbatasan di perairan masing-masing. Yakni coordinated operation, join patrol, dan coordinated patrol.

"Jadi sebenarnya kalau ngomongin bilateral antara antara Filipina dan Indonesia, sudah ada agreement yang melandasi kemungkinan diimplementasikannya tiga hal itu," tutur Retno.

"Sekarang kita bicara dalam konteks trilateral dasarnya juga ada, yakni pertemuan di Yogyakarta 5 Mei kemarin, negosiasi sudah dua kali, jadi ini bukan hal baru lagi, tapi hal biasa," lanjut Retno.

Karena itu, Retno pun berharap Pemerintah Filipina memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah Indonesia terkait pembebasan tujuh WNI yang disandera di Perairan Filipina. Yakni, tak menggunakan uang tebusan dan bisa menggunakan salah satu alternatif dari tiga bentuk kerja sama yang telah ada.

"Apalagi kemarin dalam komunikasi yang intensif, sudah deal upaya pembebasan bisa mengarah ke salah satu dari tiga bentuk kerja sama tadi, antara Indonesia dan Filipina, kami harap kerja sama di lapangan seperti itu bisa segera diterapkan," sambung Retno.

(Baca WNI Kembali Disandera, Kewibawaan Indonesia Dipertanyakan)

Tiga anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia kembali disandera kelompol bersenjata yang berbasis di Filipina. Ketiganya memiliki izin kerja di kapal pukat berbendera Malaysia.

Kapal itu disergap speed boat di perairan Malaysia pada Sabtu (9/7/2016) pukul 23.30. Speed boat tersebut berisi lima lelaki bersenjata api. Dari tujuh penumpang kapal pukat, empat orang diantaranya dibebaskan.

Tiga ABK WNI kemudian dibawa ke perairan Filipina. Pemerintah Indonesia baru menerima laporan resmi soal penyanderaan tersebut pada 10 Juli. Peristiwa panyanderaan ini terjadi untuk kali keempat.

Sebelumnya, tujuh anak buah kapal (ABK) WNI lebih dulu disandera kelompok Abu Sayyaf di perairan Sulu, Filipina Selatan. Penyanderaan itu terjadi pada Senin (20/6/2016). Selain membajak kapal, penyandera meminta tebusan sebesar Rp 60 miliar.

Lalu, 10 WNI ABK kapal tunda Brahma 12 disandera kelompok Abu Sayyaf dan dibebaskan pada awal Mei 2016. Selain itu, empat ABK kapal tunda Henry juga disandera kelompok yang sama. Keempatnya dibebaskan pada pertengahan Mei 2016.

Kompas TV 3 WNI Diculik di Perairan Sabah Malaysia

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com