JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Dio Ashar Wicaksana menilai pembentukan Satgas Khusus Pengawasan oleh Mahkamah Agung tidak bisa menjadi solusi dalam mereformasi lembaga peradilan.
Menurut Dio, pembentukan satgas tersebut menampakan bahwa MA melihat rangkaian kasus suap yang melibatkan pejabat pengadilan sebagai persoalan kasus per kasus, bukan masalah struktural yang perlu diselesaikan.
"Itu mencerminkan perspektif MA dalam melihat rangkaian permasalahan tidak komprehensif. Kami menolak Satgas Pengawasan yang didiirikan oleh MA," ujar Dio saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (2/7/2016).
Lebih jauh Dio menuturkan, MA sebaiknya tidak menutup diri dan menunjuk pihak-pihak di internal yang tidak diketahui rekam jejaknya oleh publik untuk melakukan pengawasan.
MA harus mulai menyadari perlunya pelibatan lembaga lain untuk menciptakan sebuah sistem pengawasan yang ideal dan komprehensif.
Dalam mendesain pengawasan terhadap hakim, kata Dio, seharusnya MA mengikutsertakan peran Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan masyarakat sipil.
Menurut Dio pelibatan ini penting untuk menjaga akuntabilitas sistem pengawasan yang dilakukan oleh MA.
"Momentum rentetan kasus suap ini seharusnya menyadarkan MA. MA harus mau membuka diri untuk bekerja sama dengan lembaga lain. Pelibatan lembaga lain ini penting agar prinsip akuntabilitas tetap terjaga," kata Dio.
Sebelumnya, Dio mengungkapkan bahwa MA telah membentuk satuan tugas khusus pengawasan yang bertugas mengawasi proses penanganan perkara. Pembentukan satgas tersebut dilakukan MA untuk merespons rentetan kasus suap yang melibatkan pejabat pengadilan.
Terakhir Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Santoso tertangkap tangan menerima suap (30/6/2016). Santoso, yang kini sudah jadi tersangka, diduga menerima suap dari Raoul Adhitya Wiranatakusumah atas perkara yang ditangani PN Jakarta Pusat. KPK menyita uang senilai 28.000 dollar Singapura.
(Baca: Panitera PN Jakarta Pusat dan Staf Pengacara Resmi Ditahan KPK)
Dikutip dari Kompas, Penangkapan panitera di PN Jakarta Pusat sudah dua kali terjadi. Sebelumnya, pada 20 April lalu, KPK menangkap Edy Nasution, panitera PN Jakarta Pusat, terkait suap pengurusan sengketa perdata anak perusahaan Grup Lippo.
Dari Januari hingga Juni 2016, KPK 10 kali melakukan OTT. Lima di antaranya melibatkan aparatur pengadilan, dari hakim, panitera, hingga pejabat MA.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.