Oleh: Irene Sarwindaningrum dan Rini Kustiasih
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Poin 9a membatasi syarat justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama membongkar kejahatan. Status itu tidak boleh disematkan kepada pelaku utama tindak pidana.
Ini menjadi pangkal dari perbedaan pandangan terkait status seorang terdakwa sebagai justice collaborator.
Momen ini terekam di ruang sidang Cakra 1 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (9/6), saat vonis terhadap Abdul Khoir, terdakwa pemberi suap empat anggota Komisi V DPR, dibacakan.
Napas tertahan tanda terkejut terdengar di ruang sidang yang hening saat Ketua Majelis Hakim Mien Trisnawati membacakan amar putusan. Abdul, Direktur Utama PT Windu Tunggal Utama, meninggalkan ruang sidang dengan wajah tegang tanpa memedulikan rombongan wartawan yang menanti komentarnya.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang dipimpin Mien menjatuhkan vonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan.
Padahal, ia menyandang status justice collaborator (JC) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Vonis itu hampir dua kali lebih berat dari tuntutan jaksa KPK, yaitu 2 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai status JC yang disematkan KPK kepada Abdul tak tepat.
Sebab, menurut majelis, Abdul adalah pelaku utama. Ini tak sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4/2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, khususnya poin 9a.
Sepekan kemudian, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, KPK akan mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap Abdul Khoir tersebut.
"Kami mengetahui bahwa Abdul Khoir itu adalah pelaku. Akan tetapi, di sisi lain ia konsisten membantu KPK mengungkap jaringan lebih luas dalam kasus ini sehingga kami mendapatkan akses lebih luas untuk mendalami kasus ini," katanya.
Laode berharap hakim pada pengadilan tingkat banding akan mempertimbangkan usulan status JC tersebut. Apalagi KPK masih memerlukan keterangan Abdul Khoir untuk kasus lainnya.
Inilah gambaran di mana sudut pandang KPK dan hakim belum sama terkait status tersebut. Di satu sisi, putusan majelis hakim di kasus Abdul Khoir sudah sesuai pedoman.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, mengatakan, selain putusan hakim tak bisa diintervensi, putusan itu sesuai dengan SEMA No 4/2011.
"Bisa jadi ada beda perspektif dalam memandang pelaku utama. Bagi jaksa, dia bukan pelaku utama. Tapi bagi hakim, iya. Maka, keputusan hakim dalam hal ini yang lebih mengikat," katanya.
Namun, putusan untuk menolak status JC dalam kasus korupsi juga dikritik tak tepat oleh sejumlah akademisi, lembaga penelitian dan penggiat anti korupsi.
Penolakan status ini dikhawatirkan membuat para pelaku enggan bekerja sama membongkar kejahatan korupsi di masa mendatang.
"Peran justice collaborator ini sangat penting dalam membongkar kasus korupsi," kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar
Catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menunjukkan, penolakan status JC Abdul Khoir bukan yang pertama. Pada 2014, pengadilan juga menghukum Kosasih Abbas lebih berat dari tuntutan jaksa karena dianggap sebagai pelaku utama.