Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebiri Kimiawi Seharusnya Sukarela, Bukan Hukuman yang Dipilih Hakim

Kompas.com - 30/05/2016, 08:47 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga kajian hukum Institute for Criminal Justice Reform mempertanyakan penerapan hukuman kebiri kimia yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Hukuman kebiri dianggap masih bermasalah.

Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, kebiri kimiawi seharusnya dilaksanakan dengan sukarela seperti yang dilakukan di Inggris, bukan ditempatkan sebagai tindakan yang dijatuhkan sebagai pilihan oleh hakim.

ICJR menilai, pemaksaan seperti itu akan mengakibatkan penyiksaan dan membuka jalan untuk melakukan balas dendam.

ICJR juga mempertanyakan bentuk rehabilitasi yang tercantum dalam Pasal 81 ayat (3) Perppu Perlindungan Anak yang menyatakan "pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi".

"Sebagai pendekatan paling rasional dalam konteks paedofil, yang direkomendasi oleh banyak pihak termasuk dokter, rehabilitasi ini tidak dijelaskan seperti apa di dalam perppu," ujar Supriyadi, melalui keterangan tertulis seperti dikutip dari Antara, di Jakarta, Senin (30/5/2016).

Dalam Pasal 81A ayat (1) Perppu Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak itu, disebutkan bahwa tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik "dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok".

"Kalaupun suntikan dilakukan selama dua tahun setelah pidana pokok, lalu bagaimana apabila pidana pokok adalah pidana mati atau seumur hidup?" kata dia.

Adanya pidana mati dalam perppu juga disayangkan oleh ICJR karena dianggap mengkhianati tujuan rehabilitasi karena tidak akan ada kesempatan kedua bagi terpidana mati.

Hukuman mati dinilai bentuk jalan pintas dari pemerintah dan tidak menunjukkan penanganan komprehensif atas kekerasan seksual terhadap anak.

"Klaim pemerintah yang menyatakan mendapat dukungan pidana mati, menunjukkan bahwa masyarakat sedang tidak percaya pada penanganan kekerasan seksual yang selama ini dijalankan pemerintah," kata Supriyadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com