JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, ada perbedaan persepsi antara fraksi di DPR dengan BPK dalam sistem pelaporan kunjungan kerja ke daerah.
Selama ini, sesuai aturan yang berlaku, anggota DPR hanya melaporkan hasil kunjungan berbasis kegiatan. Sedangkan BPK mengasumsikan laporan harus dibuat dengan berbasis anggaran.
"Di situlah salah persepsi terjadi. Karena anggota DPR mengikuti aturan yang berlaku makanya laporan itu dibuat per kegiatan. Sementara BPK mengiranya berdasarkan anggaran dengan sistem pork barel seperti di Amerika (Serikat)," ujar Hendrawan saat diwawancarai di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (17/5/2016).
Hendrawan melanjutkan, jika laporan dibuat berbasis anggaran, maka laporan akan menjadi sangat banyak. Sekretariat Jenderal (Setjend) DPR akan kesulitan mengaturnya.
(baca: Modus Kunker Fiktif, Kuitansi Hotel sampai "Boarding Pass" Palsu)
"Masalah ini aslinya sudah selesai, karena laporan kunker yang dibuat anggota DPR sudah sesuai aturan. Sistem pelaporan yang digunakan saat ini namanya lamsam, yakni pelaporan secara gelondongan. Tinggal yang belum lengkap dilengkapi saja," kata Hendrawan.
Dia menambahkan, memang ada anggota yang laporannya kurang lengkap. Namun, ia mengatakan, secara sistem pelaporan sudah benar.
(baca: Formappi: Kunker DPR Lebih Sering Jadi Lahan untuk Cari Proyek)
Sebelumnya, BPK menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 945.465.000.000 dalam kunjungan kerja perseorangan yang dilakukan oleh anggota DPR RI.
Komisi Pemberantasan Korupsi diminta mengusut temuan tersebut.