”Caesar, maukah nama Paduka dikenang anak cucu sebagai tentara barbar yang terlampau bodoh untuk mengerti nilai penting buku-buku?” kata Theodotus kepada Caesar di sebuah adegan dalam lakon Caesar and Cleopatra karya George Bernard Shaw (1856-1950).
Fernando Baez, penulis buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (edisi Indonesia oleh Penerbit Marjin Kiri, 2013), mengutip dialog itu demi menegaskan fakta tentang luluh lantaknya gedung Perpustakaan Nasional Baghdad berikut jutaan koleksi bukunya, Mei 2003, seiring jatuhnya Saddam Hussein.
Ribuan kertas berhamburan. Ruang baca, kartu katalog, dan tumpukan buku-buku telah rata.
”Inilah bab terakhir pendudukan Baghdad. Harta karun berupa dokumen-dokumen bersejarah dari zaman Ottoman, termasuk arsip kerajaan kuno di Irak, berubah jadi abu dalam panas 3000 derajat,” tulis Robert Fisk, koresponden Independent untuk Timur Tengah, seperti dicatat Baez.
”Kenangan kita tak ada lagi. Tempat lahirnya peradaban, tulisan, dan hukum musnah terbakar,” keluh seorang profesor sejarah yang berdengung langsung di kuping Baez.
Baez seketika teringat ungkapan kemarahan Theodotus itu. Dan, yang lebih memilukan, ingatannya terpelanting jauh ke masa lalu, pada peristiwa tahun 1258 di negeri yang sama.
Masa itu pasukan Hulagu Khan menaklukkan kedigdayaan Dinasti Abbasiyah, menghancurkan semua buku di semua perpustakaan kota Baghdad dengan membuangnya ke Sungai Tigris. Tinta dan darah bersenyawa, dan mengalir sampai jauh.
”Yang terbakar di sana adalah ingatan umat manusia,” kata Theodotus, melanjutkan kemurkaannya kepada Caesar.
Membenci ingatan
Para biblioklas—istilah yang digunakan untuk para perusak buku—sesungguhnya tak memusuhi kertas-kertas berjilid, tetapi membenci ingatan yang dimonumentasikan oleh buku. Ingatan yang mungkin menakutkan, atau mengingatkan pada dosa- dosa masa silam.
Novel 1984 karya George Orwell bahkan menggambarkan sebuah negara totaliter di mana pemerintahnya harus membentuk kementerian khusus yang bertugas menemukan, sekaligus melenyapkan ingatan masa lalu.
”Masyarakat demokratis pun tak segan-segan menghancurkan buku demi memperkokoh penolakan identitas yang lain,” ungkap Baez.
Inilah jawaban bagi kegemparan akibat aksi penyitaan buku oleh aparat negara yang kembali terulang.
Jika berpijak pada argumentasi dan kajian Baez, ada perlindungan hukum atau tidak, pelarangan, penyitaan, bahkan pemusnahan buku akan sukar dihindari. Kaum biblioklas tak akan pernah bosan sepanjang buku masih ditulis dan disiarkan.
Bagi mereka, ikatan kuat antara buku dan memori membuat teks harus dibaca sebagai patrimonium budaya utama.