Baez menjelaskan, ”patrimonium” berasal dari bahasa Yunani dan merujuk pada padre (ayah) dan moneo (mengetahui, mengingat).
Maka, ”patrimonium” berarti yang diingat oleh ayah. Berbeda dengan”matrimoni” (pernikahan) yang berarti yang diingat oleh ibu, patrimonium budaya dimaknai sebagaiyangpaling representatif secara kultural dari suatu negeri.
Ia menggugah rasa afirmasi dan kepemilikan, memperkuat atau menstimulasi identitas masyarakat di suatu wilayah. Perpustakaan, arsip, museum adalah patrimonium budaya, dan semua bangsa memandangnya sebagai kuil-kuil memori.
Dengan demikian, dibaca atau tidak, buku bakal tetap dianggap ancaman. Tengoklah aksi membakar buku berjudul Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karya Prof Franz Magnis-Suseno oleh Aliansi Anti Komunis, 19 April 2001.
Dalil pembakaran adalah klaim bahwa buku itu bagian dari propaganda dan penyebarluasan Marxisme-Leninisme yang dilarang oleh TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1996.
Padahal, sebagaimana disinyalir oleh Robertus Robet, jika dibaca dengan saksama buku itu justru mengandung kritik tajam terhadap ideologi Marxisme.
Pemusnahan buku tak kunjung berhenti. Pada 2007, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, yang diikuti oleh kejaksaan tinggi beberapa daerah, menghancurkan ribuan buku pelajaran Sejarah SMP/SMA atas dasar keberatan sejumlah pihak lantaran dihapusnya kata ”PKI” dari kelaziman istilah Orde Baru: ”G30S/ PKI”.
Di tahun yang sama, Jaksa Agung RI melarang peredaran lima judul buku, antara lain: Dalih Pembunuhan Massal (John Rossa), Gereja Umat Penderitaan (Socrates Sofyan Yoman), LEKRA Tak Membakar Buku (R Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan), Enam Jalan Menuju Tuhan (Dharmawan), dan Mengungkap Misteri Keragaman Agama (Syahrudin Ahmad).
Meski dunia buku kemudian beroleh kabar baik dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi, 13 Oktober 2010, yang menyatakan bahwa pelarangan buku bertentangan dengan konstitusi, tetapi aksi kaum biblioklas bagai tak kunjung letih.
Terulang kembali, dan mungkin akan begitu seterusnya, sepanjang dunia buku masih berdenyut.
Tegak di atas kepandiran
Di kurun ketika ruang bagi kebebasan berekspresi telah sedemikian lapang dan tidak lagi terbatas di atas kertas-kertas berjilid, rupa-rupa dalil pelarangan akan sia-sia. Bagi para pengarang, apalagi saudagar buku, aksi pelarangan buku justru ditunggu, diam-diam tentunya.
Heboh akibat penyitaan buku baru-baru ini akan membuat banyak orang memburu buku, bahkan kelompok yang anti buku sekalipun.
Apabila penerbit kesulitan menyediakannya dalam bentuk buku berjilid, teknologi digital segera mengantarkan buku-buku itu ke tangan pembaca, tanpa halangan yang berarti, dan pasal-pasal dalam kitab hukum akan kepayahan mengejarnya.
Dalam kemarau pembaca yang senantiasa melanda dunia literasi di republik ini, kita akan berutang banyak kepada kaum biblioklas. Sitalah buku-buku itu, kami akan lekas membacanya!
Kepada tuan-tuan biblioklas yang budiman, mungkin para pembaca hanya perlu menyuarakan maklumat ringan: bahwa, yang semestinya tuan ringkus adalah pikiran.
Bukan buku-buku yang tanpa membacanya, lalu tuan anggap berbahaya. Perbuatan menyita buku adalah pertanda kekuasaan yang tegak di atas kepandiran....
Damhuri Muhammad, Sastrawan dan Pekerja Buku; Alumnus Pascasarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.