Di hadapan 250an kader utama Partai Demokrat termasuk Pak SBY selaku Ketua Umum dan Ibu Ani, Prof. DR. M Nuh DEA mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional dan mantan menteri lainnya memberi ceramah tentang kesejahteraan rakyat selama 10 tahun pemerintahan SBY, tanggal 31 Maret 2016, di Bogor.
Pemaparannya dengan data dan fakta sangat menyentuh dan tanpa terasa membuat semua peserta meneteskan air mata. Mengapa? Pak Nuh menjelaskan dan menunjukkan video kesaksian peserta beasiswa BIDIKMISI yang mempunyai kesempatan sekolah dan sukses padahal ia dan keluarganya sangat miskin bertahun-tahun.
"Saya memang miskin dan istri saya juga miskin. Sebagai wujud cinta saya kepada istri saya, saya janji membuang miskin itu," kata Pak Nuh mengutip satu slide nya bergambar pengantin yang miskin dan satu slide lagi sudah sejahtera.
"Pak Nuh bukan hanya sekedar pengajar, tetapi motivator," kata Pak SBY memberi komentar sambil melanjutkan penjelasan 10 tahun kinerja kabinetnya bidang kesra, diikuti tepuk tangan meriah peserta.
Soal kesejahteraan rakyat selalu manyentuh tata kehidupan manusia yang paling dalam. Pesan motivasi makna kebahagiaan itu membuatku teringat pada kotbah sebagai pesan damai dan sarat nilai kemanusiaan yang kembali diserukan oleh Sri Paus Fransiskus untuk umat manusia di muka bumi dalam semangat perayaan tiga hari suci minggu lalu.
Homilinya itu kemudian dikirim sahabat saya Putu Suasta dari Bali sebelum acara penataran dimulai. Tulisan panjang dalam terjemahan dalam bahasa Indonesia sudah tersebar luas melalui terjemahan yang dibuat oleh Romo Ignatius Ismartono SJ.
Judulnya "Menjadi Manusia yang Bahagia". Saya membacanya secara utuh. Saya tertegun. Saya putuskan untuk menuliskannya ulang dalam versi bahasa saya dan menyebarluaskannya ke banyak orang.
Selain sangat relevan dalam penataran kader Partai Demokrat, juga karena inilah semangat dan spirit NonangNonang yang terus saya lakukan; menyebarluaskan kebaikan menabur optimisme.
"Engkau mungkin memiliki kekurangan, merasa gelisah dan kadangkala hidup tak tenteram, namun jangan lupa hidupmu adalah sebuah proyek terbesar di dunia ini. Hanya engkau yang sanggup menjaga agar tidak merosot. Ada banyak orang membutuhkanmu, mengagumimu dan mencintaimu", begitulah Sri Paus memulai pesannya.
Lalu beliau meneruskan dengan memberikan soft warning. "Aku ingin mengingatkanmu bahwa menjadi bahagia bukan berarti memiliki langit tanpa badai, atau jalan tanpa musibah, atau bekerja tanpa merasa letih, ataupun hubungan tanpa kekecewaan. Menjadi bahagia adalah mencari kekuatan untuk memaafkan, mencari harapan dalam perjuangan, mencari rasa aman di saat ketakutan, mencari kasih di saat perselisihan", katanya.
Aku terkesima dan terdiam sejenak. Sambil terus membacanya, bait demi bait.
Menjadi bahagia bukan hanya menyimpan senyum, tetapi juga mengolah kesedihan. Bukan hanya mengenang kejayaan, melainkan juga belajar dari kegagalan. Bukan hanya bergembira karena menerima tepuk tangan meriah, tetapi juga bergembira meskipun tak ternama.
Menjadi bahagia adalah mengakui bahwa hidup ini berharga, meskipun banyak tantangan, salah paham dan saat-saat krisis. Menjadi bahagia bukanlah sebuah takdir, yang tak terelakkan, melainkan sebuah kemenangan bagi mereka yang mampu menyongsongnya dengan menjadi diri sendiri.
Menjadi bahagia berarti berhenti memandang diri sebagai korban dari berbagai masalah, melainkan menjadi pelaku dalam sejarah itu sendiri. Bukan hanya menyeberangi padang gurun yang berada di luar diri kita, tapi lebih dari pada itu, mampu mencari mata air dalam kekeringan batin kita.
Menjadi bahagia adalah mengucap syukur setiap pagi atas mukjizat kehidupan. Menjadi bahagia bukan merasa takut atas perasaan kita. Melainkan bagaimana membawa diri kita. Untuk menanggungnya dengan berani ketika diri kita ditolak. Untuk memiliki rasa mantab ketika dikritik, meskipun kritik itu tidak adil.