Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Curahan Perasaan Mantan Wartawan

Kompas.com - 19/02/2016, 12:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Beberapa hari lalu, seorang reporter bertanya pada saya dalam sebuah wawancara, “Ada yang bilang jadi wartawan tak bisa bayar tagihan. Menurut Anda?”

Saya bilang, tergantung tempat kerja dan posisinya. Saya tujuh tahun jadi wartawan di tiga majalah. Waktu masih reporter di Trax Magazine memang pendapatannya hanya cukup untuk bayar uang kos dan makan sehari-hari. Paling banyak uang yang saya bisa sisihkan, itu hanya Rp 50 ribu per bulan.

Waktu jadi Feature Editor di Playboy Indonesia, agak membaik lah. Masih ada sisa yang lebih banyak sehingga saya bisa membeli benda keduniawian macam kaus band impor dan CD atau cakram padat.

Lalu ketika di Rolling Stone lebih membaik lagi, lebih banyak kaus dan CD yang bisa saya beli. Tapi itu sebelum ada yang namanya cicilan rumah. Setelah itu, semua kembali pas-pasan.

Saya jadi ingat ketika kuliah, diberi tahu bahwa yang namanya Press itu asalnya bukan hanya karena pada awalnya hanya ada media cetak (yang dihasilkan dari mesin yang disebut press), tapi juga kerjanya yang penuh tekanan.

Waktu kuliah sih, yang sering dibahas adalah tekanan deadline. Padahal kenyataannya, bukan cuma tekanan deadline. Ada tekanan dari manajemen perusahaan, tekanan dari masyarakat, tekanan dari penguasa, tekanan dari preman, dan yang paling terasa tapi tak pernah dibahas waktu kuliah: tekanan dari tagihan atau cicilan.

Yang terakhir ini yang paling berat. Ini yang membuat banyak wartawan menerima bingkisan amplop berisi uang padahal seharusnya tak boleh diterima.

Budaya memberi uang inilah yang kemudian membuat wartawan abal-abal atau wartawan bodrek (saya juga tak tahu kenapa disebut bodrek) tumbuh subur, apalagi di instansi pemerintahan.

Pejabat yang bermasalah bertemu dengan wartawan abal-abal yang mengancam akan memberitakan kejelekannya, hasilnya ya mau-mau saja dimintai uang. Padahal, media si wartawan pun tak jelas.

Dasar kau wartawan bodrek! Bikin jelek nama wartawan saja. Maafkan ya, meskipun sudah bukan wartawan, saya masih geram sama wartawan bodrek. 

9 Februari lalu Hari Pers Nasional—yang lebih tepat disebut Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Entah bagaimana kondisinya sekarang, tapi ketika saya jadi wartawan sih, adanya Hari Pers Nasional tak berpengaruh pada kehidupan saya sebagai wartawan. Tak membuat saya bisa naik gaji juga.

Idealnya sih, kalau sudah diakui oleh pemerintah dengan adanya Hari Pers, ya ada semacam desakan dari pemerintah kepada para pengusaha media untuk meningkatkan kesejahteraan wartawannya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pernah mengeluarkan daftar gaji ideal wartawan di tiap kota. Jangan cuma sekadar membuat acara peringatan supaya masyarakat tahu ada Hari Pers, lalu ada ajang silaturahmi antar wartawan.

Jangan hanya menuntut pada wartawan untuk harus tetap kritis lah, meluaskan wawasan kebangsaan lah, lebih kerakyatan lah, menyebarkan optimisme lah, jangan bertumpuk pada rating lah, lebih profesional lah, perhatikan kode etik jurnalistik lah, dan segala macam harapan serta beban yang diberikan pada wartawan.

Saya yakin masih banyak wartawan yang beban pekerjaannya begitu berat tapi tak sebanding dengan penghargaan finansial yang didapat. Apalagi mereka yang jadi wartawan lepas di daerah dan mengandalkan pendapatan dari jumlah berita yang dimuat. Itu mah banyak yang lebih pedih.

Buat yang masih pedih, saya hanya bisa bilang sabar saja ya. Maaf kalau jadinya sok bijak. Kan katanya, di balik kesulitan ada kemudahan. Di balik banyak tagihan, harus lincah mencari penghasilan tambahan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com