Pertama, terorisme itu mencerminkan kemiskinan kehidupan keagamaan. Semangat ketuhanan dikembangkan tanpa keadaban nilai-nilai kasih sayang (rahman-rahim) yang jadi kaidah emas semua agama. Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas dan moralitas hanya berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering, dan keras. Agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang, dan perlindungan justru acap memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi.
Kedua, terorisme mencerminkan relasi kemanusiaan pada tingkat global yang mengabaikan hak-hak asasi manusia, rasa keadilan, dan keadaban. Globalisasi, selain memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan dan relasi antarmanusia, juga menciptakan ketidakadilan distributif dan tercerabutnya manusia dari akar eksistensinya.
Dalam pandangan Juergen Habermas, fundamentalisme-terorisme adalah reaksi terhadap kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia kehidupan (Lebenswelt), yang membuat banyak komunitas tercerabut dari akar kehidupan tradisionalnya. Fundamentalisme sebagai basis terorisme bukanlah gerak kembali yang sederhana kepada cara yang pramodern dalam memahami agama, melainkan lebih sebagai respons panik dan gagap menghadapi modernitas dan globalisasi. Kepanikan ini ditandai resistensi diri terhadap prinsip kehidupan global, yang termanifestasi dalam sikap religius yang menutup komunikasi dengan dunia kehidupan, yang melahirkan kekerasan dalam wujud teror.
Ketiga, terorisme itu mencerminkan pelumpuhan kapasitas kewargaan untuk menjalin persatuan dalam keragaman. Studi- studi sosiologi agama menunjukkan fundamentalisme sebagai akar terorisme mudah melanda pribadi-pribadi dengan ruang pergaulan yang tertutup dan homogen. Isolasi sosial cenderung memandang kebaruan dan perbedaan sebagai ancaman, yang melahirkan mekanisme defensif melalui konsolidasi dan politisasi identitas.