Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Mayjen TNI Soedarmo mengatakan, hal itu terjadi karena adanya kesalahan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
"Awalnya, Gafatar mengajukan izin ormas ke Kesbangpol Kemendagri tahun 2012, tetapi ditolak. Sebab, dia hanya ganti nama saja dari ormas yang dilarang sebelumnya. Lalu, kami mengirim surat ke pemerintah daerah, baik di kota, kabupaten, maupun provinsi. Intinya supaya mereka tak memberikan izin kepada Gafatar," ujar Soedarmo kepada Kompas.com, Rabu (13/1/2016).
"Ternyata, sebelum Kesbangpol mengirimkan surat itu, Gafatar sudah mendaftarkan diri ke beberapa pemerintah daerah dan diterima di sana sebagai ormas yang legal," lanjut Soedarmo.
Beberapa pemerintah daerah yang menerima Gafatar antara lain Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Kota Gorontalo, dan Pemerintah Kabupaten Purbalingga.
Surat izin ormas itu berlaku hingga lima tahun. Kemendagri, kata Soedarmo, tidak bisa membatalkan pemberian izin tersebut. Sebab, putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa pendaftaran ormas dapat dilakukan pada pemerintah pusat, provinsi, kota, atau kabupaten.
Artinya, pemberian izin sebuah ormas oleh pemerintah daerah bersifat otonom atau tidak dapat diganggu gugat oleh pemerintahan di atasnya.
"Jadi, sekarang kami hanya bisa mengimbau ke kepala daerah untuk benar-benar selektif soal pemberian izin ormas di daerahnya. Namun, saya rasa jangan khawatir sebab banyak izin yang sudah mati atau kedaluwarsa, termasuk yang di DKI itu," ujar Soedarmo.