JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa Wakil Ketua DPRD Banten, Adde Rosi Khoerunnisa, terkait perkara dugaan suap dalam pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Banten untuk memuluskan pembentukan bank daerah baru.
Adde tak berkomentar mengenai dugaan pemberian uang suap kepada anggota-anggota DPRD tersebut. Ia hanya mengatakan bahwa dirinya tak menerima suap dari PT Banten Global Development (BGD).
"Saya pribadi tidak pernah menerima itu (uang) dari BGD," ujar Adde di Gedung KPK, Senin (11/1/2016).
Saat ditanya terkait perkembangan pembangunan bank tersebut, Adde hanya berkomentar bahwa yang ia tahu Menteri Dalam Negeri telah menyampaikan surat evaluasi bahwa pembangunan bank Banten tersebut harus dihentikan.
Adde mengaku tak tahu banyak soal pembahasan pembentukan bank tersebut. Ia hanya memastikan bahwa Fraksi Golkar telah menolak sejak awal.
"Yang pasti Golkar menolak. Saya enggak tau hal detail. Saya sejak awal sudah menolak, diintruksikan oleh partai menolak," kata menantu mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah tersebut.
Berdasarkan pantauan Kompas.com, Adde keluar dari Gedung KPK sekitar pukul 17.43 WIB setelah diperiksa selama lebih kurang 5 jam.
Selain Adde, KPK menjadwalkan pemeriksaan delapan anggota DPRD Banten sebagai saksi bagi terdakwa Direktur PT Banten Global Development Ricky Tampinongkol.
Tujuh anggota DPRD Banten lainnya yang diperiksa adalah Ananta Wahanan, Iman Sulaiman, Ade Suryana, Sri Hartati, Hasan Maksudi, A Zaini, dan Muhlis.
Adde sebelumnya pernah diperiksa KPK dalam kasus ini. Saat itu ia mengatakan, Fraksi Golkar telah menolak pembuatan bank daerah Banten. Namun, anggaran untuk bank tersebut tetap berjalan.
Dalam kasus ini, Ricky diduga menyuap Ketua Komisi III DPRD Banten dari Fraksi PDI Perjuangan Tri Satya Santoso dan Wakil Ketua DPRD Banten dari Fraksi Partai Golkar SM Hartono.
Saat tangkap tangan, KPK menyita uang sebesar 11.000 dollar AS dan Rp 60 juta. KPK menduga pemberian tersebut bukan pertama kalinya dilakukan.
Ricky pun dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sementara itu, dua tersangka lainnya, Setya dan Hartono disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.