Oleh: Herdi Sahrasad
JAKARTA, KOMPAS - Satu tahun pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla belum mampu mengurangi beban kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan ketakadilan sosial yang tajam.
Alih-alih memberantas kemiskinan, pada era Jokowi-Kalla justru terjadi peningkatan jumlah warga miskin mencapai setidaknya ratusan ribu orang akibat pelemahan rupiah, pelambatan ekonomi, dan merosotnya daya beli masyarakat. Sementara ekonomi Indonesia pada dasarnya liberal, kapitalistis, bercorak pasar bebas, nyaris seluruhnya dikuasai unsur eksternal, bukan rakyat pribumi asli Indonesia.
Persoalan yang sangat krusial sejak era Orde Baru adalah kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial serta dominasi modal yang terus-menerus membayangi keadaan bagai api dalam sekam. Rasio gini kita meningkat dari 0,4 menjadi 0,42 sehingga dapat diartikan kesenjangan ekonomi kita semakin tinggi. Dalam kaitan ini, kerusuhan Tolikara, Singkil, dan seterusnya tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi-politik dan sosial yang mencengkeram situasi-kondisi yang ada.
Belajar dari kesalahan
Kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial yang tajam itu terjadi sejak era Orde Baru. Pemerintahan Soeharto sering tampil dengan argumen bahwa yang penting ialah "memperbesar kue" untuk kemudian kelak dibagi secara adil dan merata. Argumennya, dengan memperbesar kue itu secepat mungkin, pembangunan ekonomi mengharuskan pemerintah mengikuti kebijakan untuk menyerahkan kegiatan pembangunan ekonomi sektor swasta kepada mereka yang "kompetitif" dan secara "obyektif" punya kemampuan yang andal.
Konsekuensinya, Pak Harto menjatuhkan pilihan kepada para pelaku ekonomi dari kalangan warga masyarakat keturunan Tionghoa. Sebab, merekalah yang sampai saat itu memenuhi kriteria sebagai yang "kompetitif" dan secara "obyektif" berkemampuan. Dan, seolah-olah merupakan kemestian berlakunya hukum besi dalam persaingan bebas, kebijakan "obyektif" pemerintahan Orde Baru sampai era Reformasi di bidang ekonomi telah menjerumuskan masyarakat ke dalam "Darwinisme ekonomi". Dalam pertimbangan apa pun, sama sekali tidak adil bahwa ada 3-5 persen warga negara keturunan yang menguasai 70 persen ekonomi nasional.
Harus kita akui, dengan latar belakang jiwa kewirausahaan dalam sejarah yang panjang pada era Orde Baru para taipan Tionghoa terbukti menunjukkan kemampuan luar biasa. Saham "pembangunan nasional" yang yang mereka "sumbangkan" jauh di atas proporsinya secara berlipat ganda sehingga terjadi keganjilan besar bahwa 3 persen-4 persen warga Tionghoa menguasai 70 persen ekonomi nasional (Nurcholish Madjid, 1998). Menyedihkan: warga pribumi yang jumlahnya "cuma" 90-an persen dan rata-rata masih hidup di bawah garis kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan serasa tidak diberi peluang yang sama.