Oleh: Yohan Wahyu
JAKARTA, KOMPAS - Peluang kemenangan calon perseorangan di pilkada relatif lebih rendah dibandingkan pasangan calon yang diusung partai politik. Meski demikian, jalur perseorangan tetap menjadi alternatif politik bagi masyarakat yang tak sepakat dengan calon dari parpol walau persyaratan dukungan yang harus dipenuhi pasangan calon nonparpol semakin berat.
Aturan yang ketat bagi calon perseorangan terlihat dari dukungan yang harus diberikan dalam bentuk surat dukungan disertai fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) dan formulir tanda pernyataan dukungan.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, persyaratan yang berat itu jelas tergambar. Sesuai UU Pilkada sebelumnya (UU No 1/2015), rata-rata syarat minimal dukungan berkisar 3-6,5 persen populasi, tergantung dari besaran jumlah penduduk di wilayahnya.
Adapun sesuai UU No 8/2015, syarat minimal dukungan untuk calon perseorangan dinaikkan hingga di kisaran 6,5-10 persen jumlah penduduk. Misalnya, di wilayah berpenduduk kurang dari 2 juta jiwa, pasangan calon nonparpol sebelumnya harus mengumpulkan 6,5 persen dukungan, tetapi kini minimal 10 persen jumlah penduduk.
Semakin beratnya syarat dukungan ini diperkuat dengan data hasil verifikasi Komisi Pemilihan Umum terhadap bakal pasangan calon perseorangan yang maju dalam pilkada serentak Desember mendatang. Dari 250 pasangan calon perseorangan yang mendaftar, 80 pasangan tidak memenuhi syarat. Dari jumlah yang tak lolos itu, 64 pasangan (80 persen) tidak lolos karena kekurangan syarat minimal dukungan.
Tentu saja semakin beratnya syarat minimal dukungan yang harus dipenuhi calon dari jalur perseorangan kian mempersempit orang untuk maju melalui jalur ini. Dengan begitu, panggung kontestasi pilkada, terutama pada tahap pencalonan, bakal didominasi peran parpol.
Minimnya calon nonparpol yang mampu melaju di pilkada serentak otomatis mengurangi pendaftar calon kepala daerah. Patut diduga hal ini menjadi salah satu penyebab kesulitan mendapatkan pasangan calon (dan akhirnya menjadi calon tunggal) di beberapa daerah.
Dukungan semu
Selain persyaratan yang berat, jalur perseorangan juga memberikan rekam jejak yang relatif minor. Ini terlihat dari adanya kecenderungan perolehan suara pasangan dari jalur nonparpol jauh lebih sedikit dibandingkan dengan dukungan yang disetor ke KPU pada tahap pencalonannya.
Contoh kasus di Jawa Timur. Pada Pilkada 2010 yang digelar di 19 kabupaten/kota, terdapat 15 pasangan calon dari jalur perseorangan. Dari jumlah itu, hanya dua pasangan yang perolehan suaranya melebihi dukungan suara saat pencalonan, yakni Pilkada Sumenep dan Pilkada Trenggalek. Pada Pilkada Sumenep, Ilyas Siraj-Rasik Rahman mengumpulkan 88.000 dukungan pada tahap pencalonan dan meraih 111.007 suara dari hasil pilkada. Pada Pilkada Trenggalek, Mahsun Ismail-Joko Irianto mengumpulkan 48.000 dukungan pada tahap pencalonan dan meraih 74.611 suara dari hasil pilkada.