Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setengah Hati Calon Perseorangan

Kompas.com - 17/09/2015, 15:13 WIB

Oleh: Yohan Wahyu

JAKARTA, KOMPAS - Peluang kemenangan calon perseorangan di pilkada relatif lebih rendah dibandingkan pasangan calon yang diusung partai politik. Meski demikian, jalur perseorangan tetap menjadi alternatif politik bagi masyarakat yang tak sepakat dengan calon dari parpol walau persyaratan dukungan yang harus dipenuhi pasangan calon nonparpol semakin berat.

Aturan yang ketat bagi calon perseorangan terlihat dari dukungan yang harus diberikan dalam bentuk surat dukungan disertai fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) dan formulir tanda pernyataan dukungan.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, persyaratan yang berat itu jelas tergambar. Sesuai UU Pilkada sebelumnya (UU No 1/2015), rata-rata syarat minimal dukungan berkisar 3-6,5 persen populasi, tergantung dari besaran jumlah penduduk di wilayahnya.

Adapun sesuai UU No 8/2015, syarat minimal dukungan untuk calon perseorangan dinaikkan hingga di kisaran 6,5-10 persen jumlah penduduk. Misalnya, di wilayah berpenduduk kurang dari 2 juta jiwa, pasangan calon nonparpol sebelumnya harus mengumpulkan 6,5 persen dukungan, tetapi kini minimal 10 persen jumlah penduduk.

Semakin beratnya syarat dukungan ini diperkuat dengan data hasil verifikasi Komisi Pemilihan Umum terhadap bakal pasangan calon perseorangan yang maju dalam pilkada serentak Desember mendatang. Dari 250 pasangan calon perseorangan yang mendaftar, 80 pasangan tidak memenuhi syarat. Dari jumlah yang tak lolos itu, 64 pasangan (80 persen) tidak lolos karena kekurangan syarat minimal dukungan.

Tentu saja semakin beratnya syarat minimal dukungan yang harus dipenuhi calon dari jalur perseorangan kian mempersempit orang untuk maju melalui jalur ini. Dengan begitu, panggung kontestasi pilkada, terutama pada tahap pencalonan, bakal didominasi peran parpol.

Minimnya calon nonparpol yang mampu melaju di pilkada serentak otomatis mengurangi pendaftar calon kepala daerah. Patut diduga hal ini menjadi salah satu penyebab kesulitan mendapatkan pasangan calon (dan akhirnya menjadi calon tunggal) di beberapa daerah.

Dukungan semu

Selain persyaratan yang berat, jalur perseorangan juga memberikan rekam jejak yang relatif minor. Ini terlihat dari adanya kecenderungan perolehan suara pasangan dari jalur nonparpol jauh lebih sedikit dibandingkan dengan dukungan yang disetor ke KPU pada tahap pencalonannya.

Contoh kasus di Jawa Timur. Pada Pilkada 2010 yang digelar di 19 kabupaten/kota, terdapat 15 pasangan calon dari jalur perseorangan. Dari jumlah itu, hanya dua pasangan yang perolehan suaranya melebihi dukungan suara saat pencalonan, yakni Pilkada Sumenep dan Pilkada Trenggalek. Pada Pilkada Sumenep, Ilyas Siraj-Rasik Rahman mengumpulkan 88.000 dukungan pada tahap pencalonan dan meraih 111.007 suara dari hasil pilkada. Pada Pilkada Trenggalek, Mahsun Ismail-Joko Irianto mengumpulkan 48.000 dukungan pada tahap pencalonan dan meraih 74.611 suara dari hasil pilkada.

Sisanya, sebagian besar calon perseorangan meraih suara jauh dari dukungan yang dikumpulkan saat pencalonan. Misalnya, di Pilkada Gresik, Mujitabah-Suwarno hanya meraih 7.260 suara, padahal saat pencalonan dukungannya mencapai 37.316 orang. Artinya, pasangan ini hanya mampu "mempertahankan" 19,4 persen dukungan saat pencalonan.

Hal ini menggambarkan dukungan yang dibawa calon perseorangan cenderung menjadi dukungan semu karena dukungan yang dikumpulkan saat tahap pencalonan tidak berbanding lurus dengan perolehan suara dalam pilkada.

Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dalam situsnya merekam fenomena ini tidak ubahnya sebagai "dukungan palsu" yang jamak ditemui saat pemenuhan syarat dukungan calon perseorangan. Banyak calon nonparpol ini menyerahkan dokumen dukungan fotokopi KTP sesuai jumlah yang disyaratkan. Namun, saat diverifikasi, pemilik KTP menyatakan tak mendukung, bahkan tidak mengetahuinya. Sesuai pemantauan JPPR pada pilkada tingkat kabupaten/kota di enam provinsi tahun 2010, terdapat 10 pasangan calon perseorangan yang mengalami defisit jumlah perolehan suara.

Sementara itu, perolehan suara parpol atau gabungan parpol di atas kertas juga tidak berbanding lurus dengan perolehan suara pasangan calon yang diusung. Hal ini karena ada perbedaan perilaku memilih, antara memilih partai dan orang (sosok) dalam pilkada. Dukungan calon perseorangan pada tahap pencalonan di atas kertas semestinya berbanding lurus dengan suara yang diraih dalam pemilu.

Fenomena rendahnya elektabilitas calon perseorangan juga dikuatkan dengan hasil jajak pendapat Kompas akhir Agustus lalu. Sebanyak 47,3 persen responden menilai peluang calon yang diusung parpol lebih besar dibandingkan calon perseorangan. Hanya 27,5 persen responden yang meyakini peluang calon perseorangan sekalipun dari sisi kualitas, calon perseorangan dinilai lebih menjajikan.

Jalur alternatif

Citra yang menempel sebagai calon yang tak diusung parpol tampak menguntungkan di tengah terpuruknya citra parpol di mata publik saat ini. Situasi ini dimanfaatkan calon nonparpol dengan mencoba peruntungan politiknya.

Meskipun dengan persyaratan yang relatif berat dan rekam jejak peluang kemenangan yang lebih rendah selama ini, jalur perseorangan tetap menjadi alternatif. Bahkan, pada pilkada serentak yang digelar 9 Desember tahun ini, jalur nonparpol juga dipilih petahana yang meninggalkan dukungan parpol dan muncul sebagai calon nonparpol.

Litbang Kompas mencatat, dari 130 calon perseorangan yang dihimpun dari penetapan calon oleh KPU per 25 Agustus, terdapat 12 petahana yang maju menggunakan jalur perseorangan. Masing-masing enam pasangan (4,6 persen) berasal dari kepala daerah dan wakil kepala daerah petahana. Tentu saja, fenomena ini menarik mengingat dalam pilkada-pilkada sebelumnya petahana umumnya hampir selalu menjadi "rebutan" parpol untuk diusung.

Lihat saja apa yang terjadi di Kutai Kartanegara. Bupati petahana Rita Widyasari yang berpasangan dengan Edi Darmansyah maju kembali pada pilkada melalui jalur perseorangan. Sebagai Ketua DPD II Golkar Kutai Kartanegara, tentu terkesan aneh seorang Rita memutuskan maju melalui jalur perseorangan. Namun, langkah Rita disinyalir tidak lepas dari dualisme kepengurusan yang melanda Golkar. Padahal, pada Pilkada 2010 Rita diusung Golkar dan memenangi pilkada dengan meraih 134.255 suara (53,7 persen).

Fakta-fakta di atas menghasilkan sebuah ironi bagi calon perseorangan. Di satu sisi, kelahirannya merupakan tuntutan publik akan terbukanya partisipasi politik di luar jalur parpol. Namun, dalam perjalanannya ruang gerak politik calon perseorangan justru malah dibatasi dengan semakin beratnya syarat dukungan yang harus dipenuhi.

Tidak heran jika kemudian muncul sorotan terhadap elite politik yang dinilai masih setengah hati memberikan panggung politik bagi calon perseorangan. (Litbang Kompas)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 September 2015, di halaman 5 dengan judul "Setengah Hati Calon Perseorangan".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kasus Rekayasa Jual Beli Emas Budi Said, Kejagung Periksa 3 Pegawai Pajak

Kasus Rekayasa Jual Beli Emas Budi Said, Kejagung Periksa 3 Pegawai Pajak

Nasional
Menko PMK Sebut Pinjamkan Nomor Rekening ke Pelaku Judi 'Online' Bisa Dipidana

Menko PMK Sebut Pinjamkan Nomor Rekening ke Pelaku Judi "Online" Bisa Dipidana

Nasional
Satgas Kantongi Identitas Pemain Judi Online, Bandar Belum Jadi Prioritas

Satgas Kantongi Identitas Pemain Judi Online, Bandar Belum Jadi Prioritas

Nasional
PKS Usung Anies-Sohibul Iman di Pilkada Jakarta, Tutup Peluang Cawagub dari Nasdem atau PDI-P?

PKS Usung Anies-Sohibul Iman di Pilkada Jakarta, Tutup Peluang Cawagub dari Nasdem atau PDI-P?

Nasional
Sudahi Manual, Waktunya Rekapitulasi Pemilu Elektronik

Sudahi Manual, Waktunya Rekapitulasi Pemilu Elektronik

Nasional
Menko PMK Minta Warga Waspadai Penyalahgunaan Rekening untuk Judi 'Online'

Menko PMK Minta Warga Waspadai Penyalahgunaan Rekening untuk Judi "Online"

Nasional
Saksi Ungkap Perubahan Konstruksi Tol MBZ dari Beton Jadi Baja untuk Bantu Industri Baja Nasional

Saksi Ungkap Perubahan Konstruksi Tol MBZ dari Beton Jadi Baja untuk Bantu Industri Baja Nasional

Nasional
Pendidikan dan Penguatan Demokrasi

Pendidikan dan Penguatan Demokrasi

Nasional
Divonis 9 Tahun Penjara di Kasus LNG, Karen Agustiawan Banding

Divonis 9 Tahun Penjara di Kasus LNG, Karen Agustiawan Banding

Nasional
Jokowi Kunker ke Kalimantan Tengah untuk Cek Bantuan Pompa Air

Jokowi Kunker ke Kalimantan Tengah untuk Cek Bantuan Pompa Air

Nasional
Saat Kominfo Mengaku Tak Takut terhadap Peretas PDN yang Minta Rp 131 Miliar, Klaim Pegawainya Kerja 24 Jam

Saat Kominfo Mengaku Tak Takut terhadap Peretas PDN yang Minta Rp 131 Miliar, Klaim Pegawainya Kerja 24 Jam

Nasional
Gerindra: Prabowo Tak Berhalangan untuk Menemui Lawan Politik

Gerindra: Prabowo Tak Berhalangan untuk Menemui Lawan Politik

Nasional
Komisi I DPR Panggil Menkominfo dan BSSN Besok, Tuntut Penjelasan soal PDN Diserang

Komisi I DPR Panggil Menkominfo dan BSSN Besok, Tuntut Penjelasan soal PDN Diserang

Nasional
Satgas Pemberantasan Judi Online Tak Langsung Sasar Bandar, Prioritaskan Pencegahan

Satgas Pemberantasan Judi Online Tak Langsung Sasar Bandar, Prioritaskan Pencegahan

Nasional
Pendaftaran Capim dan Dewas KPK 2024-2029 Mulai Dibuka

Pendaftaran Capim dan Dewas KPK 2024-2029 Mulai Dibuka

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com