JAKARTA, KOMPAS.com — Para advokat menolak aturan yang mewajibkan profesi tersebut melaporkan adanya tindak pidana pencucian uang oleh pengguna jasa mereka ke Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). Sejumlah advokat dari Lembaga Bantuan Hukum Himpunan Advokat Muda Indonesia (LBH HAMI) DKI Jakarta mengajukan permohonan uji materi Pasal 3 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 ke Mahkamah Agung.
Salah seorang kuasa hukum penggugat, Dedi Junaedi Syamsudin, mengatakan bahwa pasal dalam PP itu dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya Pasal 19 dan Pasal 21. "Advokat sangat dirugikan atas PP itu. Oleh sebab itu, kita uji materiilkan," ujar Dedi kepada Kompas.com, Jumat (14/8/2015).
Pasal 3 dalam PP menyebutkan, "Pihak pelapor selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, mencakup juga : (a) advokat..." Pasal 1 di PP yang sama menyebutkan bahwa pelapor adalah setiap orang yang menurut peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang wajib menyampaikan laporan ke PPATK. Adapun pengguna jasa adalah pihak yang menggunakan jasa pihak pelapor.
Menurut Dedi, Pasal 3 PP itu bertentangan dengan Pasal 19 ayat (1) UU Advokat yang berbunyi, "Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali di tentukan lain oleh undang-undang".
PP juga dianggap bertentangan dengan Pasal 19 ayat (2) UU Advokat yang berbunyi, "Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk atas perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi advokat" dan Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi, "Advokat berhak atas honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan kepada kliennya".
"Apalagi, ada asas bahwa peraturan serta perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan serta perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, tentu PP itu berada lebih rendah dan bertentangan dengan UU Advokat," ujar Dedi.
Kuasa hukum telah menyerahkan sejumlah dokumen syarat permohonan uji materi ke Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Tata Usaha Negara u.b. Kasubdit HUM dan PK Pajak Ria Susilawesti SH MM pada 11 Agustus 2015. Syarat dokumen itu berupa tanda bukti pembayaran permohonan hak uji materiil (HUM), tiga eksemplar berkas permohonan HUM, dan satu keping soft copy permohonan HUM.
"Semoga uji materiil ini dikabulkan. Hukum itu tak boleh dibuat hanya untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu, bahkan kepentingan penguasa," ujar Dedi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.