JAKARTA, KOMPAS.com — Peneliti Parasyndicate Toto Sugiarto menyayangkan langkah sejumlah partai politik yang mengusung mantan narapidana kasus korupsi dalam pemilihan kepala daerah serentak 2015.
Mantan napi bisa maju dalam sebagai calon kepala daerah setelah Mahkamah Konstitusi menganulir larangan mantan narapidana untuk mencalonkan diri pada pilkada.
"Parpol tersebut tidak memiliki kepedulian dan semangat antikorupsi. Tidak menjadikan perang terhadap korupsi sebagai prioritas," kata Toto dalam diskusi di Jakarta, Rabu (29/7/2015).
Seharusnya, kata dia, parpol mengusung calon kepala daerah berdasarkan rekam jejak yang bersih. Parpol tidak boleh berpikir pragmatis dan hanya melihat tingkat elektabilitas yang tinggi. (Baca: Masyarakat Diminta Tak Pilih Mantan Napi sebagai Kepala Daerah)
"Kan masih banyak calon lain yang tidak tersandung kasus," kata dia.
Toto mengimbau kepada masyarakat untuk tidak memilih mantan napi dalam pemungutan suara pada 9 Desember mendatang. Menurut dia, ada kemungkinan mantan napi akan mengulangi perbuatan tercelanya setelah terpilih nanti.
Dia juga mengimbau kepada masyarakat agar mengingat parpol mana saja yang mengusung mantan napi korupsi dan tak memilihnya pada Pemilu Legislatif 2019. (Baca: JK: Memang Masyarakat Mau Pilih Mantan Napi Jadi Kepala Daerah?)
"Jangan pilih lagi parpol yang tak punya semangat antikorupsi," ucapnya.
Seperti dikutip harian Kompas, sejumlah terpidana perkara korupsi yang baru dibebaskan kurang dari satu tahun lalu mendaftar untuk mengikuti pilkada serentak yang akan digelar Desember 2015. Ini antara lain terjadi di Semarang, Jawa Tengah, dan Sulawesi Utara.
Di Semarang, Jawa Tengah, satu dari tiga pasangan calon yang mendaftar mengikuti pilkada serentak adalah pasangan mantan Wali Kota Semarang Soemarmo HS dan Zuber Safawi. Mereka diusung Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Soemarmo menjabat Wali Kota Semarang pada 2010-2012. Berdasarkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dia bersama Sekretaris Daerah Kota Semarang dinyatakan terbukti menyuap anggota DPRD Kota Semarang untuk meloloskan beberapa program dalam APBD dan dihukum 1,5 tahun penjara.