BANDUNG, KOMPAS.com — Potret buram nasib anak-anak di Tanah Air mewarnai peringatan Hari Anak Nasional 2015. Berdasarkan hasil kajian Indonesia Indicator (I2), dalam kurun waktu 1 Juli 2014 hingga 22 Juli 2015, sebanyak 343 media di seluruh Indonesia, baik nasional maupun lokal, terus memberitakan terpuruknya nasib anak di bidang hukum, sosial, kesehatan, dan pendidikan.
"Isu hukum anak merupakan yang paling tinggi diekspos dibandingkan dengan isu-isu lainnya," ujar Direktur Komunikasi I2, Rustika Herlambang, dalam rilis yang diterima Kompas.com, Kamis (23/7/2015).
Menurut Rustika, terkait isu hukum, dalam satu tahun terakhir, pemberitaan soal perlindungan anak memperoleh perhatian yang cukup besar dalam agenda pemberitaan di media online, yakni sebanyak 20.010 berita. "Masalah perlindungan anak menjadi sorotan media, seiring dengan munculnya berbagai kekerasan terhadap anak," ucap Rustika.
Dalam pemberitaan, papar Rustika, hampir selalu disebutkan bahwa pelaku tindak kekerasan terbukti atau diduga melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Hal itu, kata dia, cukup ironis. Seiring pemberlakuan UU yang baru, hasil perubahan atas UU No 23 Tahun 2002, kasus dan pemberitaan mengenai kekerasan anak justru terus meningkat.
Pemberitaan nasib anak Indonesia dalam bidang hukum juga menyoroti masalah kepemilikan akta kelahiran anak-anak di Indonesia yang mencapai 1.892 berita. Berdasarkan data dari Kemensos, hanya 40 juta anak Indonesia yang memiliki akta kelahiran dari total 83 juta anak.
"Hal ini ditengarai karena proses birokrasi untuk mendapatkan akta kelahiran cukup berbelit," tutur Rustika.
Kondisi itu diperparah lagi dengan banyaknya anak yang kelahirannya tidak diinginkan, yang kemudian ditelantarkan oleh orangtuanya. Akibatnya, banyak anak yang tidak jelas status legalitasnya, yang lahir tanpa dilengkapi dokumen akta kelahiran.
Nasib buruk anak-anak Indonesia dalam bidang hukum juga dipotret media dengan pemberitaan mengenai keterlibatan anak-anak dalam penyalahgunaan narkoba, yakni sebanyak 1.422 berita, perkawinan anak sebanyak 1.288 berita, peradilan atau pidana anak sebanyak 859 berita, dan pengungsi anak sebanyak 101 berita.
DKI Jakarta merupakan wilayah dengan pemberitaan isu hukum anak yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Dalam bidang sosial, pemberitaan media massa juga menyoroti kasus masalah penelantaran anak, yang terekspos hingga 3.676 berita. Topik ini paling tinggi diangkat dalam pemberitaan dalam satu tahun terakhir.
"Kasus penelantaran anak di Cibubur dan kasus pembunuhan Engeline merupakan dua kasus yang paling banyak menyita perhatian media," ujar Rustika.
Menurut dia, kasus tersebut merupakan puncak gunung es dari permasalahan penelantaran anak. Sebab, kata Rustika, berdasarkan data dari Kemensos masih ada 4,1 juta anak telantar di Indonesia. Tingginya pemberitaan mengenai penelantaran anak tentu tidak dapat dilepaskan dari peran orangtua dan pemerintah.
Menurut Rustika, pentingnya pelatihan pranikah bagi calon orangtua dan penguatan lembaga terkait, seperti BKKBN, Kemenag, dan Kemendikbud, merupakan salah satu cara untuk mengurangi kasus penelantaran anak. Permasalahan lainnya, lanjut Rustika, mengenai pembunuhan anak dengan jumlah 813 berita.
Masalah lain yang berkaitan dengan isu sosial anak adalah pencabulan anak sebanyak 667 berita, tawuran remaja/pelajar sebanyak 645 berita, pekerja/buruh anak sebanyak 500 berita, perdagangan anak sebanyak 452 berita, pornografi anak sebanyak 320 berita, pelecehan anak sebanyak 285 berita, prostitusi/pelacuran anak sebanyak 272 berita, penganiayaan anak sebanyak 250 berita, dan pemerkosaan anak sebanyak 177 berita.
Media juga memotret tentang isu kesehatan dan anak. Dibandingkan dengan dua isu sebelumnya, pemberitaan tentang isu anak dan kesehatan relatif lebih kecil dan cenderung stagnan.
"Terhitung sejak Juli 2014, yang paling besar mendapat ekspos adalah isu tentang rokok, sebanyak 4.936 berita. Pemberitaan mengenai rokok meliputi anak sebagai konsumen rokok atau perokok aktif, ataupun anak sebagai korban atau perokok pasif," kata Rustika.