Oleh: Frans H Winarta
JAKARTA, KOMPAS - Ada dua peristiwa penegakan hukum yang melambangkan representasi bagaimana penegakan hukum saat ini dilaksanakan tidak senapas dengan politik hukum yang dicanangkan oleh pemerintah.
Tertangkapnya tiga hakim tata usaha negara di PTUN Medan- serta satu panitera dan satu advokat-di saat bulan puasa telah menghebohkan dunia hukum dan lembaga peradilan Indonesia. Peristiwa lain yang tak kurang mengejutkan dan menghebohkan adalah ketika dua komisioner Komisi Yudisial dinyatakan sebagai tersangka karena dianggap mencemarkan nama baik hakim Sarpin Rizaldi, yang mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan.
Seharusnya, dengan dua peristiwa tersebut dan peristiwa lain yang kurang mencerminkan semangat "Revolusi Mental" dan program pemberantasan korupsi, Presiden Jokowi tidak begitu saja menyerahkan persoalan penegakan hukum kepada penegak hukum. Jokowi perlu mengajak diskusi Mahkamah Agung, KPK, KY, dan organisasi advokat untuk menjelaskan politik hukum pemerintah tentang "Revolusi Mental" dan program pemberantasan korupsi. Lewat diskusi itu diharapkan misi dan visi politik hukum pemerintah dapat ditunjang dengan penegakan hukum yang anti korupsi dan mencerminkan semangat "Revolusi Mental" yang ia dicanangkan.
Pemisahan kekuasaan bukanlah berarti di antara kekuasaan eksekutif dan legislatif bekerja terpisah secara mutlak, tetapi dapat bersinergi untuk mencapai satu tujuan: menunjang dan mengegolkan politik hukum pemerintah. Dengan demikian, penegakan hukum akan selaras dengan "Revolusi Mental" dan program pemberantasan korupsi. Pemisahan kedua kekuasaan eksekutif dan yudikatif adalah agar saling mengawasi satu terhadap yang lain, tetapi bukan berarti tidak bekerja sama secara selaras dan bersinergi.
MA sebagai pengawas para hakim dapat saja minta hakim Sarpin menarik laporannya tentang pencemaran nama baik oleh kedua komisioner KY karena ada tujuan yang lebih besar dan penting, yaitu politik hukum pemerintah. Begitu juga MA, Polri, Kejaksaan Agung, KPK, KY, dan organisasi advokat dapat menuntaskan perkara suap di PTUN Medan sampai tuntas dengan menjatuhkan sanksi kepada yang bersalah senapas dengan politik hukum pemerintah.
Membongkar dan menyelesaikan perkara ini secara tuntas diikuti dengan sanksi administratif bagi tiga hakim dan satu panitera serta pemecatan advokat oleh organisasi advokat. Penuntasan dan penyelesaian perkara ini ditunggu masyarakat tidak saja berhenti pada lima pelaku (tersangka) perkara suap itu, tetapi juga membongkar siapa yang berada di belakang layar dan merekayasa suap tersebut.