JAKARTA, KOMPAS.com — Koalisi Kawal Pilkada Langsung menyayangkan pengabulan uji materi Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Koalisi yang terdiri dari aktivis antikorupsi itu yakin putusan itu akan "dibajak" pihak tidak bertanggung jawab.
Almas Sjafrina dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, putusan MK itu membuat batasan dan pengawasan praktik "politik dinasti" tidak dapat berjalan lagi. Proses pencalonan kepala daerah pun akan kembali ke era sebelum saat ini, ketika jabatan kepala daerah sangat mungkin dipegang oleh satu keluarga selama beberapa periode.
"Ini membuka kembali praktik dinasti politik. Ini berpotensi 'pembajakan' demokrasi daerah oleh politisi atau elite lokal," ujar Almas melalui siaran persnya, Senin (13/7/2015).
Artinya, kepala daerah petahana akan terus mengupayakan "status quo" dengan memajukan anggota keluarganya dalam pilkada. Jika sudah demikian, maka peluang melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sangat memungkinkan.
Situasi ini pun, lanjut Almas, lebih berpotensi terjadi di daerah-daerah ketimbang di kota-kota besar.
Ray Rangkuti, pengamat politik dari Lingkar Madani (Lima), menambahkan, seharusnya MK memasukkan situasi yang terjadi di Banten, Bangkalan, dan Tanah Laut dalam mempertimbangkan putusan itu. Ketiga daerah itu, menurut Ray, merupakan contoh bagaimana "politik dinasti" berefek pada praktik KKN.
"Yang ada di tiga daerah itu menunjukkan praktik politik dinasti di daerah berpotensi memunculkan praktik korupsi. Hal inilah yang kemudian tidak dipertimbangkan oleh MK dalam memutus permohonan," ujar Ray.
Selain itu, Heroik Muttaqin dari Perludem berpendapat, pascaputusan MK, perlu dibangun sistem pengawasan pencalonan kepala daerah yang lebih detail serta melibatkan banyak lembaga yang terkait dengan pengawasan pemilu, birokrasi, dan pelayanan publik.
Salah satu poin aturan yang dibutuhkan adalah membatasi gerak petahana untuk turut campur di dalam pencalonan keluarganya.
"Misalnya, melarang petahana memobilisasi birokrasi untuk kepentingan pemilukada anggota keluarganya. Ini yang harus diawasi ketat pengawas pemilu, termasuk Komisi Aparatur Sipil Negara," ujar Mutaqin.
Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dengan demikian, calon kepala daerah yang berasal dari keluarga petahana atau incumbent dibolehkan maju sebagai kepala daerah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.