JAKARTA, KOMPAS.com - Inspektur Pengawas Umum Polri Komjen Dwi Priyatno memastikan pihaknya akan menggelar sidang kode etik terhadap Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Narkotika Bareskrim Polri AKBP PN.
Dwi mengatakan, pihaknya akan mengajukan draft surat perintah penentuan sidang komite kode etik dan profesi terlebih dahulu kepada Kepala Polri Jenderal Pol Badrodin.
"Kita akan ajukan itu dulu ke Kapolri," ujar Dwi di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Jumat (26/6/2015).
Dwi tidak dapat memastikan kapan sidang kode etik tersebut digelar. Saat ini, PN ditangani oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri serta Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim. Proses sanksi kode etik akan ditentukan oleh Div Propam. (baca: Disangka Memeras, AKBP PN Ditetapkan Tersangka)
Di Div Propam, PN masih menjalani pemeriksaan tahap akhir. Sementara di Dirtipikor Bareskrim, PN telah ditahan dan telah diambil keterangannya sebagai tersangka. Sejumlah barang bukti berupa emas dan uang telah disita.
Dwi tidak mempersoalkan proses mana yang selesai terlebih dahulu. (baca: Bareskrim Resmi Tahan AKBP PN)
"Kalau yang pidananya sudah selesai, itu lebih baik," kata Dwi.
AKBP PN adalah Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri. Ia ditangkap Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri lantaran diduga menerima uang dari seorang pengusaha. Uang itu diduga sebagai 'pelicin' agar pengusutan suatu perkara dihentikan.
Dalam surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) yang dikirimkan ke Kejaksaan Agung, tersangka disangka Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bunyinya, "pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.