Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komisi II Pertanyakan Surat Edaran KPU Terkait Petahana

Kompas.com - 24/06/2015, 20:51 WIB
Dani Prabowo

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR dengan Komisi Pemilihan Umum, Rabu (24/6/2015), di Kompleks Parlemen, Senayan, diwarnai perdebatan. Hal yang menjadi perdebatan adalah Surat Edaran Nomor 302/VI/KPU/2015 yang dkeluarkan KPU tentang calon petahana saat pemilihan kepala daerah. 

Sedianya, rapat pada hari ini membahas evaluasi terkait sejumlah peraturan yang diterbitkan KPU. Namun, ketika sesi tanya jawab berlangsung, sejumlah anggota Komisi II justru mencecar KPU atas terbitnya surat itu.

Anggota Fraksi Hanura Rufinus Hotmaulana Hutauruk meminta agar KPU mencabut surat edaran tersebut karena dianggap melanggengkan praktik politik dinasti.

"Syarat pencalonan itu ada dikatakan di situ tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana kecuali sudah melewati satu kali masa jabatan," kata Rufinus.

Hal yang sama juga dikatakan anggota Fraksi PDI Perjuangan Sirmadji. Menurut dia, harus jeda satu periode kepemimpinan apabila ada anggota keluarga petahana yang ingin mencalonkan diri saat pilkada.

Sementara itu, anggota Fraksi PDI Perjuangan lainnya, Arteria Dahlan mengatakan, majunya calon kepala daerah yang berasal dari keluarga petahana berpotensi merusak demokrasi. Sehingga, di dalam pembentukan aturan perundang-undangan, para perumus telah berupaya untuk mencegah terjadinya politik dinasti.

"Pembentukan aturan ini sejak awal karena kita tahu petahana mempunyai daya rusak yang tinggi atas demokrasi," kata Arteria.

Dalam surat edaran tersebut, KPU menjelaskan, ada tiga macam calon kepala daerah yang tidak termasuk definisi petahana sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 1 angka 19 Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan. Mereka adalah kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran; kepala daerah yang mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir yang dilakukan sebelum masa pendaftaran, atau; kepala daerah yang berhalangan tetap sebelum masa jabatannya berakhir dan terjadi sebelum masa pendaftaran.

Untuk calon kepala daerah yang mengundurkan diri harus dibuktikan dengan Surat Keputusan Pemberhentian dari jabatan kepala daerah yang diterbitkan sebelum masa pendaftaran, dan KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota melakukan klarifikasi kepada institusi yang berwenang pada masa penelitian administrasi. Hal yang sama juga berlaku untuk kepala daerah berhalangan tetap.

Ketua KPU Husni Kamil Manik menegaskan, KPU tidak pernah menerbitkan norma baru dalam pelaksanaan pilkada. Ia pun memastikan bahwa surat edaran yang diterbitkan merupakan penjabaran dari peraturan yang ada dan telah didiskusikan sebelumnya dengan sejumlah ahli.

"Kami tidak membuat norma baru, tapi kami mendapatkan pengertian bahwa petahana adalah pejabat yang eksis," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com