KOMPAS.com - Indonesia dituntut mampu menjaga keseimbangan hubungan diplomasi dengan Tiongkok maupun Jepang di tengah konflik dua negara itu dalam masalah perbatasan, kata seorang pengamat.
Hal ini menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo dalam wawancara dengan harian Jepang Yomiuri Shimbun bahwa dirinya menepis konsep sembilan garis putus-putus yang diterapkan pemerintah Tiongkok di kawasan Laut China Selatan.
Pernyataan ini kemudian dimuat Kantor berita Reuters dan berbagai media lainnya ketika Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Jepang dan berencana mengunjungi Tiongkok pada pekan ini.
Walaupun pernyataan Presiden Joko Widodo ini dianggap sama dengan sikap pemerintah Indonesia saat dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ucapan itu dinilai dapat memperkeruh hubungan dengan Tiongkok.
"Presiden Jokowi mengatakan seperti itu tidak pada tempatnya. Ini akan membuat situasi lebih keruh," kata pengamat hubungan internasional, Bantarto Bandoro kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Selasa (24/03) siang.
Menurutnya, Tiongkok memiliki dasar untuk mengklaim tentang konsep sembilan garis putus-putus di kawasan Laut China Selatan.
Tetapi sebaliknya, lanjutnya, "tidak ada dasar bagi Presiden Jokowi untuk mengatakan bahwa tidak ada dasar bagi Tiongkok."
Sembilan garis putus-putus atau nine-dashed line ialah kawasan yang diklaim Tiongkok di peta Laut China Selatan. Kawasan itu mencakup sekitar 90 persen dari 3,5 juta kilometer persegi perairan tersebut.
Klaim Tiongkok ini bersinggungan dengan klaim sejumlah negara, termasuk Vietnam, Filipina, dan beberapa negara ASEAN lainnya.
Menjaga keseimbangan
Lebih lanjut Bantarto Bandoro mengatakan, Indonesia harus pandai melihat situasi konflik Tiongkok-Jepang dalam masalah perbatasan. "Jangan sampai mereka (Jepang-Tiongkok) memanfaatkan Indonesia untuk kepentingan mereka," katanya.
Dia menambahkan, "Dua negara ini terlalu penting untuk diabaikan, Indonesia harus tahu persis bahwa mengabaikan kehadiran kepentingan dua negara besar ini bukan pilihan yang rasional."
"Karena itu, meskipun mereka sedang berkonflik, Indonesia harus bisa menjaga keseimbangan antara pentingnya hubungan kita dengan China, tanpa mengorbankan pentingnya hubungan kita dengan Jepang," jelas Bantarto.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari FE Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, dirinya tidak melihat pernyataan Presiden Joko Widodo tersebut sebagai sinyal bahwa Indonesia akan meninggalkan Tiongkok.
"Ini bentuk diplomasi dari pemerintahan Jokowi, meskipun agak terlalu tajam yang berpotensi menuai konflik dengan China," kata Fithra Faisal Hastiadi kepada BBC Indonesia, Selasa (24/03) sore.