Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memudarnya Imaji Anti Korupsi

Kompas.com - 19/03/2015, 15:02 WIB


Oleh: Saldi Isra

JAKARTA, KOMPAS - Dalam diskusi harian Kompas (27/2/2015) dengan tema "KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi", saya mengemukakan, agenda pemberantasan korupsi hanya berpeluang bertahan selama pemimpin politik masih memiliki imaji anti korupsi. Ketika bayangan dalam pikiran (imaji) tersebut meleleh, agenda pemberantasan korupsi segera berubah menjadi bangkai dan semua akan bermuara pada monumen kegagalan.

Ilustrasi demikian dikemukakan ketika menjelaskan bentangan fakta yang tengah dihadapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sebagian personel pendukungnya dalam menghadapi ancaman kriminalisasi. Ibarat kapal besar yang sedang dalam empasan gelombang badai mahadahsyat, KPK hanya mungkin diselamatkan apabila imaji anti korupsi masih dominan dan menggelora dalam pikiran sekaligus keinginan para pemimpin politik.

Sebagaimana diketahui, pusaran ketegangan di antara KPK dan kepolisian tidak hanya menghadirkan keraguan sekitar masa depan komisi anti rasuah ini, tetapi lebih jauh dari itu memunculkan pertanyaan lain: bagaimanakah nasib dan masa depan agenda pemberantasan korupsi? Dalam batas penalaran yang wajar, pertanyaan tersebut memiliki alasan mendasar karena agenda anti korupsi merupakan salah satu amanah sekaligus imaji utama gerakan reformasi.

Tidak hanya ancaman terhadap KPK, melelehnya imaji anti korupsi bisa pula dilacak dari berbagai fakta lain yang terjadi belakangan. Misalnya, keinginan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menghidupkan lagi remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi. Padahal, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, kedua fasilitas bagi koruptor tersebut sempat dimoratorium pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Imaji reformasi

Dari enam tuntutan reformasi 1998, salah satunya keharusan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Langkah konkret merealisasikan tuntutan tersebut disahkan lewat Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Selanjutnya, gagasan di balik ide produk hukum MPR ini dielaborasi lebih jauh dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Imaji dasar dari kedua produk hukum ini amat jelas: memberantas KKN harus dimulai dengan pembenahan lingkungan penyelenggara negara.

Selain membidik penyelenggara negara, perubahan mendasar juga dilakukan ihwal tindak pidana korupsi dan dilanjutkan dengan membentuk undang-undang baru, yaitu UU No 31/1999 (kemudian diubah dengan UU No 20/2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai pengganti UU No 3/1971, UU No 31/1999 merumuskan tindak pidana korupsi jauh lebih komprehensif, termasuk pengaturan soal gratifikasi yang amat mungkin dilakukan penyelenggara negara. Bahkan, perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan negara pun menjadi unsur tindak pidana korupsi.

Selain memperluas pengertian perbuatan yang dapat dikualifikasi sebagai korupsi, UU No 31/1999 juga mengatur pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Meskipun berlebihan, penegasan ini penting karena kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur esensial dalam perbuatan pidana korupsi. Dengan ketentuan itu, perbuatan pidana korupsi tidak dihapuskan meskipun kemudian unsur kerugian negara tidak terbukti di pengadilan karena telah dikembalikan tersangka (Isra dan Hiariej, 2009).

Sekalipun perluasan tersebut sebagiannya masih menimbulkan perdebatan sampai saat ini, perumusan demikian tidak terlepas dari imaji dan pemahaman kolektif pembentuk undang-undang bahwa praktik korupsi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, menghambat pembangunan dan pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan nasional. Korupsi mengancam pertumbuhan demokrasi dengan masifnya praktik politik uang dan jual-beli pengaruh (trading influence). Bahkan, perilaku menyimpang ini bergerak jauh hingga mengeroposkan lembaga-lembaga penegak hukum.

Melanjutkan perluasan cakupan tindak pidana korupsi tersebut, imaji anti korupsi bergerak pada keniscayaan melakukan pemberantasan secara extraordinary. Untuk itu, UU No 31/1999 mengamanatkan pembentukan lembaga extraordinary body bernama KPK dalam memberantas korupsi. Dalam aturan itu, dibuat limitasi waktu pembentukan KPK dengan tugas dan wewenang menyelidik, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi, termasuk tugas lintas institusi guna melakukan koordinasi dan supervisi dengan lembaga penegak hukum lain.

Menelusuri berbagai pengaturan di awal reformasi tersebut, semangat pembentuk undang-undang menjadikan agenda pemberantasan korupsi sebagai agenda kolektif yang berada dalam posisi niscaya. Sebagai sebuah keniscayaan, agenda ini berkelindan dengan langkah membentuk KPK sebagai sebuah lembaga khusus. Posisi KPK menjadi kian penting karena UU No 30/2002 tentang KPK mengakui kepolisian dan kejaksaan yang sebelumnya menangani perkara tindak pidana korupsi belum efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Artinya, KPK merupakan imaji kolektif dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi.

Karena itu, dalam batas penalaran yang wajar, memberikan perlindungan terhadap KPK dari segala macam bidikan atau serangan yang berpotensi melumpuhkan lembaga ini wajib hukumnya. Bagaimanapun, sebagai sebuah imaji yang berkelindan dengan kemestian agenda pemberantasan korupsi, sulit membayangkan masa depan pemberantasan korupsi minus kehadiran KPK. Bahkan, kalaupun tetap bertahan, tetapi membiarkan KPK dalam posisi "seperti kerakap tumbuh di batu", tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa imaji anti korupsi pemimpin politik sedang bergerak pasti menuju titik terendah.

Berkaca dari kondisi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, apabila Jon ST Quah dalam buku Curbing Corruption in Asian Countries, An Impossible Dream (2013) menyitir kalau pemimpin politik suatu negara tidak memiliki kemauan politik, pemberantasan korupsi sulit meraih hasil. Bisa jadi, yang sedang kita hadapi dalam bulan-bulan terakhir lebih jauh daripada itu: meleleh dan memudarnya imaji anti korupsi para pemimpin politik. Karena itu, tak terlalu berlebihan pula apabila harian ini sampai pada posisi bahwa KPK terancam berakhir di era Jokowi-Kalla (Kompas, 18/2).

Padahal, jika ditelusuri sedikit ke belakang, kekhawatiran yang teramat sangat atas pemudaran imaji anti korupsi tak pernah dibayangkan. Alasannya, dalam Nawacita Jokowi-Kalla secara tegas pasangan ini menyatakan mendukung penguatan KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Menguatkan itu, mereka berkomitmen menolak segala bentuk pelemahan KPK. Setelah melihat kondisi KPK, pertanyaan elementer yang lebih dari patut untuk diajukan: adakah pohon janji dalam Nawacita tersebut merupakan imaji yang genuine?

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anggap Duet Anies-Kaesang Sulit Terwujud, Projo: Anies Antitesa Pemerintah Terpilih

Anggap Duet Anies-Kaesang Sulit Terwujud, Projo: Anies Antitesa Pemerintah Terpilih

Nasional
Jokowi Minta PON XXI Aceh-Sumut 2024 Tepat Waktu, Pimpinan DPR Ajak Semua Pihak Turun Tangan

Jokowi Minta PON XXI Aceh-Sumut 2024 Tepat Waktu, Pimpinan DPR Ajak Semua Pihak Turun Tangan

Nasional
Tanggapi Santai Pernyataan Kaesang Soal Duet dengan Anies, Projo: Bisa Saja Bercanda

Tanggapi Santai Pernyataan Kaesang Soal Duet dengan Anies, Projo: Bisa Saja Bercanda

Nasional
Bicara Marwah DPR di Bidang Legislasi, Hasto Kristiyanto: Sekarang Terbalik, Sering Ada Kepentingan di Luar

Bicara Marwah DPR di Bidang Legislasi, Hasto Kristiyanto: Sekarang Terbalik, Sering Ada Kepentingan di Luar

Nasional
Kalah di Pilpres, Anies Akhirnya Kembali Bertarung di Jakarta

Kalah di Pilpres, Anies Akhirnya Kembali Bertarung di Jakarta

Nasional
Airlangga Ungkap Terjadi 'Shifting' Perdagangan ke AS, tetapi RI Belum Menikmati

Airlangga Ungkap Terjadi "Shifting" Perdagangan ke AS, tetapi RI Belum Menikmati

Nasional
Kritik Proses Pemeriksaan Hasto dan Staf oleh KPK, DPD PDI-P: Tidak Adil dan Sewenang-wenang

Kritik Proses Pemeriksaan Hasto dan Staf oleh KPK, DPD PDI-P: Tidak Adil dan Sewenang-wenang

Nasional
Anggap KPK Tidak Tepat Sita Ponsel Hasto, Politikus PDI-P: Ini Bukan Tangkap Tangan

Anggap KPK Tidak Tepat Sita Ponsel Hasto, Politikus PDI-P: Ini Bukan Tangkap Tangan

Nasional
Pemikir Bebas Melawan Kebekuan

Pemikir Bebas Melawan Kebekuan

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies Umumkan Maju Pilkada Jakarta | Anies Diprediksi Tolak Duet dengan Kaesang

[POPULER NASIONAL] Anies Umumkan Maju Pilkada Jakarta | Anies Diprediksi Tolak Duet dengan Kaesang

Nasional
Tanggal 17 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 17 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Putusan MA Bisa Dikonfirmasi Buka Jalan bagi Anak Jokowi jika Kaesang Maju Pilkada, Terutama di Jakarta

Putusan MA Bisa Dikonfirmasi Buka Jalan bagi Anak Jokowi jika Kaesang Maju Pilkada, Terutama di Jakarta

Nasional
KPK Ungkap Ada Pihak Kembalikan Uang ke PT SCC

KPK Ungkap Ada Pihak Kembalikan Uang ke PT SCC

Nasional
Gubernur BI: Tren Inflasi Indonesia 10 Tahun Terakhir Menurun dan Terkendali Rendah

Gubernur BI: Tren Inflasi Indonesia 10 Tahun Terakhir Menurun dan Terkendali Rendah

Nasional
Muhadjir: Tak Semua Korban Judi 'Online' Bisa Terima Bansos, Itu Pun Baru Usulan Pribadi

Muhadjir: Tak Semua Korban Judi "Online" Bisa Terima Bansos, Itu Pun Baru Usulan Pribadi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com