Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukum sebagai Alat Kejahatan

Kompas.com - 23/02/2015, 15:05 WIB


Oleh: Reza Syawawi

JAKARTA, KOMPAS - Agenda reformasi hukum pemerintahan Joko Widodo terancam diokupasi oleh kelompok-kelompok politik di lingkaran Istana. Jabatan-jabatan strategis di sektor hukum telah dikuasai oleh kelompok politik tertentu, dan kekisruhan kembali mengemuka dalam pengisian jabatan Kepala Polri.

Kisruh ini dimulai ketika Presiden memaksakan kehendaknya untuk menyodorkan calon Kepala Polri yang bermasalah. Penolakan dari publik tentu didasarkan pada argumentasi bahwa bagaimana mungkin penegakan hukum akan diserahkan kepada orang yang juga memiliki masalah hukum.

Sebagai salah satu pengemban amanah penegakan hukum (Pasal 30 Ayat 4 UUD 1945), jabatan Kepala Polri sangat strategis dalam menentukan arah penegakan hukum di dalam masyarakat. Jika penegak hukum diurus oleh orang yang bermasalah secara hukum, bukan tidak mungkin kepolisian akan menjadi bagian dari kelindan kejahatan (terutama korupsi).

"Law as tool of crime", perbuatan jahat dengan hukum sebagai alatnya adalah kejahatan yang sempurna, sulit dilacak, karena diselubungi oleh hukum dan berada di dalam hukum (Nitibaskara, 2001). Kuatnya tekanan politik untuk memaksakan personal yang bermasalah bukan tidak mungkin mengarah pada konsolidasi untuk melindungi kasus-kasus hukum yang melibatkan elite politik ataupun elite hukum. Sebut saja kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), rekening gendut, dan sebagainya.

Impunitas kejahatan akan semakin sempurna ketika alat penegak hukum dikuasai oleh para penjahat. Dimensi kejahatan semacam ini akan jauh lebih berbahaya karena bertindak untuk dan atas nama hukum.

Jadi, wajar ketika muncul istilah "kriminalisasi" terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Prosedur standar dalam hukum acara (KUHAP) dilangkahi dengan tujuan sekadar membuat pimpinan KPK menjadi tersangka dan berhenti sementara. Adalah sebuah kejahatan ketika atas nama hukum melakukan tindakan hukum, tetapi dengan menyalahi prosedur hukum itu sendiri.

Politik telah menjadi tempat subur bagi berkembang biaknya korupsi, maka menjadi hukum alam ketika skandal korupsi yang melibatkan elite politik akan selalu mencari perlindungan hukum. Salah satu yang paling strategis adalah membajak lembaga-lembaga penegak hukum dan sejenisnya untuk menyamarkan atau bahkan melindungi kejahatan yang mereka lakukan.

Ujian bagi publik

Dalam konteks kepolisian, Coleman (1994) menyebutkan, petugas kepolisian memiliki lebih banyak peluang untuk menerima pembayaran ilegal ketimbang pejabat publik lain karena mereka diminta menjalankan hukum yang lemah untuk mengontrol pasar gelap yang menguntungkan. Inilah yang dimanfaatkan elite politik dengan cara "merecoki" pemilihan Kepala Polri.

Kejahatan semacam ini oleh Edwin Sutherland (1939) disebut sebagai bagian dari white collar crime, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan dan status sosial tinggi. Korupsi politik yang tidak jadi bagian dari kejahatan yang menarik bagi penegak hukum konvensional (polisi dan jaksa). Sutherland berpendapat, "kejahatan jalanan" jauh lebih menarik bagi polisi, tetapi kejahatan "kelompok berseragam" yang sebetulnya menimbulkan kerugian paling besar bagi publik justru diabaikan. Bahkan, dalam situasi ekstrem, potensi polisi akan digunakan sebagai tameng atas kejahatan tersebut sangat mungkin terjadi.

Korupsi di tubuh Polri diyakini sebagai bagian dari kelompok yang resisten dan memilih untuk ikut serta dalam kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Peristiwa semacam ini tak hanya terjadi di Indonesia.

Sebagai contoh, di Kota New York (1992-1993), pernah dibentuk Komisi Mollen yang ditugaskan untuk mengungkap korupsi di tubuh kepolisian, khususnya yang berkaitan dengan narkoba. Mulai dari praktik kecurangan polisi, pencurian dan penjualan barang bukti narkoba, hingga pemerasan, dan seterusnya. Namun, para pejabat tinggi di internal kepolisian berusaha menghalangi penyelidikan. Sikap diam dan loyalitas kepada sesama teman (korps) lebih mengemuka ketimbang keprihatinan pada pelanggaran sumpah jabatan (Frank E Hagan, 2013).

Fakta di atas seperti menjadi cermin bagi Indonesia. Semangat untuk melindungi korps jauh lebih ditonjolkan ketimbang memperbaiki institusinya: menyelamatkan satu atau dua orang, tetapi dengan menghancurkan kredibilitas institusinya.

Imbasnya dapat dilihat dalam proses hukum di KPK yang mengalami hambatan. Dalam pemanggilan saksi, misalnya, beberapa perwira Polri tidak menghiraukan panggilan untuk dilakukan pemeriksaan. Bahkan, yang telah ditetapkan sebagai tersangka (BG) juga menolak untuk diperiksa dengan alasan proses praperadilan sedang berjalan. Padahal, tidak ada hubungan antara proses praperadilan dan pemeriksaan terhadap saksi ataupun tersangka.

Pada akhirnya, yang perlu dijaga adalah akal sehat publik dalam melihat dan menilai sengkarut proses hukum yang sedang berjalan. Jangan sampai publik melihat ini sebagai permainan hukum sehingga berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap hukum (distrust) karena hukum telah dilihat sebagai bagian dari kejahatan.

Reza Syawasi
Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Nasional
Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Nasional
Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Nasional
Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Nasional
Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

Nasional
Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Nasional
Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Nasional
Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Nasional
Soal 'Presidential Club', Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Soal "Presidential Club", Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com