JAKARTA, KOMPAS.com — Hakim tunggal dalam sidang praperadilan, Sarpin Rizaldi, bisa terkena sanksi jika mengabulkan permohonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan untuk membatalkan penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal itu karena penetapan tersangka tidak bisa dibatalkan melalui praperadilan.
"Keputusan itu nantinya bisa dibatalkan MA dan hakimnya dimutasi, seperti kasus Chevron," kata akademisi hukum acara pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Junaedi, Minggu (15/2/2015) di Jakarta.
Menurut Junaedi, praperadilan diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pasal tersebut, hanya ada enam hal dalam sebuah proses hukum yang dapat diajukan praperadilan, yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan.
Selain itu, diatur pula mekanisme mengenai permintaan ganti rugi dan rehabilitasi nama baik. Pada Pasal 95 KUHAP, lanjut Junaedi, memang diatur adanya tindakan lain yang bisa juga diajukan ke praperadilan. Namun, sudah disebutkan di sana bahwa tindakan lain tersebut berupa penggeledahan dan penyitaan. Tidak ada penetapan tersangka disebutkan dalam aturan tersebut.
"Karena sudah disebutkan dengan jelas tindakan lain itu berupa penggeledahan dan penyitaan, tidak bisa diartikan lain atau ditambah-tambahkan lagi," ujar dia.
Junaedi menyebutkan, dalam kasus Chevron, misalnya, Badan Pengawasan Mahkamah Agung memberikan sanksi kepada hakim PN Jakarta Selatan, Suko Harsono. Suko mengeluarkan putusan praperadilan atas kasus bioremediasi Chevron dengan tersangka Bachtiar Abdul Fatah. Dalam putusannya, Suko memutuskan penetapan tersangka Bachtiar tidak sah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.