KOMPAS.com - SEPULUH tahun lalu, Desember 2004, laporan pertanggungjawaban Ketua Umum Partai Golkar (1998-2003) Akbar Tandjung disambut gegap gempita oleh peserta Musyawarah Nasional VII Golkar di Bali. Semua peserta berdiri dan bertepuk tangan, Partai Golkar dan Akbar Tandjung dinilai sukses menjaga tetap tegaknya ”beringin” pada awal masa reformasi.
Saat itu, Golkar berhasil menjungkirbalikkan berbagai prediksi. Pasca Munaslub 1998, Golkar mendapat berbagai tekanan eksternal karena dinilai bagian dari Orde Baru. Namun, dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2004, Golkar justru jadi pemenang dengan meraih 21,58 persen suara. Akbar, ”sang aktivis sejati”, berhasil memimpin partainya di tengah berbagai gejolak.
Setelah 10 tahun berlalu, Munas IX Golkar—yang juga digelar di Hotel Westin, Bali, 30 November hingga 4 Desember 2014—mungkin takkan mendengar warta bahagia yang sama. Ini karena perolehan kursi Partai Golkar di DPR terus menurun. Seusai Pileg 2004, Golkar mendapat 128 kursi, kemudian turun menjadi 106 kursi pada Pileg 2009, dan akhirnya menjadi 91 kursi pada Pileg 2014.
Walau menjadi pemenang kedua pada Pileg 2014, Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie yang juga telah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dari partai itu ternyata tak mendapat tiket untuk bertarung di Pilpres 2014. Aburizal membawa Golkar mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Perpecahan
Munas IX Partai Golkar di Bali seharusnya menjadi ajang terbaik untuk merespons isu politik terkini serta menggali dan merumuskan kembali program kerja untuk lima tahun mendatang. Partai Golkar sebaiknya merumuskan langkah baru pasca menginjakkan kaki pada usia ke-50.
Munas IX Partai Golkar hendaknya tidak sekadar menjadi ajang perebutan kursi ketua umum, tetapi juga mampu merumuskan program-program terbaik demi kesejahteraan rakyat.
Aburizal Bakrie sebenarnya telah menggagas Visi Indonesia 2045: Negara Kesejahteraan. Pada 2045, ditargetkan PDB per kapita mencapai 43.000 dollar AS, lahan per petani seluas 5 hektar, dan usia harapan hidup rata-rata 82 tahun. Namun, apakah Visi Indonesia 2045 itu tetap relevan ketika Golkar bertekad menjadi penyeimbang?
Hal ini karena strategi dalam Visi Indonesia 2045 lebih efektif saat Golkar berperan sebagai eksekutif atau setidaknya kader-kadernya duduk sebagai menteri. Jadi, kini harus digali dan diformulasikan langkah tepat apabila Golkar ingin tetap menjadi penyeimbang pemerintah.
Partai Golkar juga sebaiknya merenungkan kaderisasi. Perlu dipikirkan untuk menumbuhkan tunas-tunas muda. Perlu dipertimbangkan apakah masih tepat memilih seorang calon ketua umum berusia di atas 60 tahun? Terlebih, pemilih pada 2019 jelas berasal dari generasi yang lebih muda.
Tantangan terberat Partai Golkar dalam jangka pendek adalah ancaman perpecahan. Baru pada Munas IX terbentuk sebuah Presidium Penyelamat Partai Golkar yang muncul dari keprihatinan di tubuh partai itu. Baru kali ini munas didahului bentrokan di Kantor DPP Partai Golkar di Jakarta.
Siapa pun yang terpilih menjadi ketua umum Golkar (2014-2019) akan langsung dihadang pekerjaan menyatukan dua kubu yang kini terbentuk, yaitu kubu DPP Partai Golkar yang diketuai Aburizal dan kubu Presidium Penyelamat Partai Golkar. Tanpa penyatuan, pohon beringin itu mungkin tetap tegak berdiri, tetapi tidak lagi rindang dan mengayomi semua pihak. (HARYO DAMARDONO/HARRY SUSILO)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.