Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tentang Pilkada, Gajah, dan Jawaban Tuhan...

Kompas.com - 09/10/2014, 20:09 WIB
Tjatur Wiharyo

Penulis

Oleh: Tjatur Wiharyo

KOMPAS.com — Sebuah pepatah latin mengatakan, "non scholae sed vitae discimus". Terjemahan bebasnya—kurang lebih—kita belajar bukan untuk nilai di atas kertas atau pengakuan orang lain, melainkan untuk hidup.

Saya belajar, orang harus tidak dinilai dari hitam di atas putih, yang kini menjadi standar pintar dan sukses. Saya belajar, orang harus dinilai dari perilaku karena perilaku adalah ukuran kesadaran, bukan suku, ras, apalagi agama.

Lahir enggak minta, mati tidak tahu. Apakah adil menilai orang karena sesuatu yang tahu-tahu ia miliki tanpa sempat memilih?

Karena sadar saya bodoh dan sempat merasakan sulit dalam mencari kerja, saya berusaha bekerja sebaik mungkin dan sejujur mungkin. Ibu saya mengatakan—sebetulnya di buku saku Pramuka juga ada—kejujuran itu mata uang yang berlaku di mana-mana.

Itu terbukti benar karena banyak orang mengeluarkan uang banyak dan atau mendapatkan uang banyak untuk membeli atau menggadaikan kejujurannya. Tentu saja, bukan konsep kejujuran seperti ini yang dimaksud ibu saya. "Apesnya", kejujuran yang diajarkan ibu saya itu sudah teramat langka.

Pilkada

Karena menyadari saya bodoh, saya tak mau berpikir dan bicara banyak-banyak soal politik negeri ini. Saya tak tahu, apalagi paham, kenapa UUD 1945 harus diacak-acak. Menurut saya, isinya tambah banyak, tetapi semakin sedikit saja yang paham artinya. Pancasila yang isinya sedikit saja banyak yang tidak hafal, apalagi mengamalkan.

Saya hanya tahu bahwa negara ini adalah negara demokrasi dan demokrasi berarti kekuasaan  ada di tangan rakyat. Gara-gara pengetahuan yang sedikit ini, saya emosi melihat orang-orang ribut soal pemilihan kepala daerah langsung dan tak langsung.

Emosi saya ini cukup besar untuk membuat—meminjam diksi Hercule Poirot—sel-sel kelabu saya bergerak lebih cepat dari biasanya. Hasilnya, saya hanya mengernyitkan dahi.

Saya heran, orang-orang hanya mengeluh, menggerutu, dan mencaci, ketika RUU Pilkada disahkan menjadi UU Pilkada oleh DPR pada 27 September 2014. Ada kekhawatiran, UU tersebut akan menguntungkan kelompok tertentu dan membahayakan pemerintahan baru.

Betul, dengan UU tersebut, keramaian pesta demokrasi seperti terjadi dalam beberapa tahun terakhir akan berkurang. Namun, menurut saya, UU tersebut tidak mengurangi kedaulatan rakyat.

Dengan UU itu, menurut saya, rakyat sebetulnya "diharapkan" berpikir lebih keras, lebih cerdas, dan tentu saja lebih "jual mahal" ketika "musim" pemilihan apa pun tiba.

Menurut saya, dalam konsep demokrasi, suara akan selalu ada di tangan rakyat. Rakyat bisa bersuara sebelum, ketika, dan setelah roda pemerintahan baru berjalan.

Dengan begitu, kekhawatiran UU Pilkada akan merampas suara rakyat hanya merendahkan dan mempermalukan diri sendiri. Sebab, orang yang kita nilai membahayakan itu sesungguhnya lahir dari rahim kita sendiri: rakyat.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Yakin Presidential Club Sudah Didengar Megawati, Gerindra: PDI-P Tidak Keberatan

Yakin Presidential Club Sudah Didengar Megawati, Gerindra: PDI-P Tidak Keberatan

Nasional
Taruna STIP Meninggal Dianiaya Senior, Menhub: Kami Sudah Lakukan Upaya Penegakan Hukum

Taruna STIP Meninggal Dianiaya Senior, Menhub: Kami Sudah Lakukan Upaya Penegakan Hukum

Nasional
Gejala Korupsisme Masyarakat

Gejala Korupsisme Masyarakat

Nasional
KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

Nasional
PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

Nasional
Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Nasional
Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Nasional
Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com