Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wajah Korupsi di Surat Kabar

Kompas.com - 24/09/2014, 23:00 WIB


Oleh: Andreas Yoga Prasetyo

Isu korupsi masih menghiasi berita utama surat kabar nasional sampai semester pertama tahun ini. Selain tren peningkatan, materi berita utama media juga menangkap nuansa kegeraman masyarakat terhadap ringannya hukuman koruptor. Dorongan pers terus dinanti dalam gerakan antikorupsi.

Hasil pemantauan terhadap berita utama di enam surat kabar nasional sepanjang semester pertama 2014 menunjukkan 174 berita utama yang mengangkat isu korupsi. Ini merupakan isu terbanyak kedua pada periode tersebut setelah isu politik.

Politik menjadi tema terbesar karena dalam rentang Januari-Juni 2014 terdapat dua hajatan besar politik di Indonesia, yaitu pemilu legislatif dan masa kampanye pemilihan presiden. Munculnya pemberitaan korupsi sebagai isu terbanyak setelah politik patut menjadi perhatian.

Kekhawatiran ini juga terlihat dari tren peningkatan jumlah pemberitaan korupsi sepanjang tiga tahun terakhir. Hasil pemantauan terhadap koran Kompas, Republika, Indopos, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Seputar Indonesia, pada tahun 2011, sebanyak 429 berita utama mengangkat isu korupsi. Setahun sesudahnya, jumlahnya bertambah menjadi 433 berita utama dan meningkat menjadi 491 berita utama pada tahun 2013.

Sorotan koran-koran nasional tersebut sejalan dengan temuan Indonesia Corruption Watch sepanjang Januari-Juli 2014. Jumlah kasus korupsi yang terjadi di Indonesia mencapai 308 kasus, meningkat 15 perkara dibandingkan dengan semester I-2013.

Sebenarnya, upaya penegak hukum tidak kurang, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengungkap berbagai kasus korupsi. Namun, masih banyak praktik korupsi yang terjadi. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 23-25 Juli 2014 menegaskan pesan akan bahaya laten korupsi yang harus segera dituntaskan. Publik menempatkan korupsi sebagai masalah paling utama yang harus diselesaikan oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mendatang.
Hukuman ringan

Tren peningkatan korupsi tidak bisa dianggap enteng. Dukungan segenap elemen bangsa diperlukan, terutama kepada aparat penegak hukum untuk memutus mata rantai praktik korupsi yang terjadi di negeri ini. Namun, tidak bisa dimungkiri, upaya memberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di negeri ini tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Salah satu penyebab masih terjadinya praktik korupsi di Indonesia adalah hukuman terhadap koruptor yang tidak menciptakan efek jera dan gentar. Publik sering menjumpai bahwa neraca hukuman yang masih berpihak pada koruptor dan kurang berpihak pada rasa keadilan masyarakat.

Hukuman yang tergolong ringan masih diterima terdakwa korupsi, seperti Angelina Sondakh dan Irjen Djoko Susilo. Vonis yang diterima keduanya menjadi sorotan publik karena bukan saja dianggap tidak menimbulkan efek jera, juga mengoyak sisi keadilan publik. Gambaran kurang terpenuhinya rasa keadilan masyarakat juga tecermin dari berita utama di surat kabar nasional.

Tengoklah reaksi koran-koran nasional saat mantan anggota DPR, Angelina Sondakh, divonis 4,5 tahun penjara. Kompas, misalnya, mengangkat sisi ketidakpuasan terhadap vonis tersebut dengan mengangkat judul ”KPK Siapkan Banding Vonis Angie”. Koran Tempo bahkan mengangkat ringannya hukuman bagi Angie tersebut dengan judul berita ”Angie Tak Diminta Kembalikan Suap Rp 32 Miliar”.

Pemberitaan senada muncul saat mantan Kepala Korlantas Polri Djoko Susilo divonis 10 tahun penjara. Saat itu hampir semua koran nasional menyerukan ketidakpuasan terhadap vonis pengadilan tersebut.

Media Indonesia menyebut hukuman itu antiklimaks dari upaya pemberantasan korupsi mengingat sebelumnya Djoko Susilo dituntut hukuman 18 tahun penjara dan dicabut hak politiknya. Indopos dan Republika menyebut vonis tersebut mengecewakan rakyat dan mencederai rasa keadilan.

Sebenarnya, bukan hanya hukuman ringan terdakwa koruptor yang membuat praktik korupsi terus terjadi. Gerakan pemberantasan korupsi kembali mendapat hantaman saat sejumlah tersangka atau terdakwa korupsi tetap bisa mengemban jabatan publik. Misalnya, dua pejabat Pemerintah Provinsi Banten dan dua anggota DPRD Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, yang baru dilantik meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Efek jera

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com