Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hakim Putuskan Lahan Pesantren Krapyak atas Nama Mertua Anas Disita Negara

Kompas.com - 24/09/2014, 21:49 WIB
Icha Rastika

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan bahwa lahan seluas 7.870 meter persegi di Jalan DI Panjaitan Nomor 57, Mantrijeron, Yogyakarta, milik Pesantren Krapyak Yogyakarta sebagai hasil pencucian uang mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Hakim meminta lahan atas nama pimpinan Ponpes Krapyak Attabik Ali yang juga mertua Anas tersebut disita.

"Putusannya disita negara," kata Ketua Majelis Hakim Haswandi membacakan putusan Anas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (24/9/2014).

Kendati demikian, hakim memutuskan agar lahan tersebut tetap dikelola untuk pendidikan dan keagamaan. Hakim menyerahkan pengelolaan dan pemanfaatan lahan tersebut kepada negara dan pihak Yayasan Ali Ma'sum Krapyark.

"Dapat dilakukan perjanjian antara negara, instansi yang berwenang dengan pengelola yayasan tersebut," ujar hakim Haswandi.

Menurut majelis hakim, pembelian lahan atas nama Attabik Ali ini menggunakan uang yang patut diduga hasil tindak pidana korupsi. Kesaksian Attabik yang mengaku bahwa lahan seharga Rp 15 miliar tersebut dibeli dengan uang yang dikumpulkannya dianggap kurang meyakinkan. Dalam surat pemberitahuan pajak (SPT) Attabik diketahui bahwa penghasilan pemimpin Ponpes Krapyark tersebut hanya Rp 321 juta per tahun.

Hakim juga menilai keterangan Attabik yang mengaku mendapat uang untuk membeli lahan tersebut dari penjualan kamus, kurang meyakinkan. Menurut hakim, penghasilan Attabik dari penjualan kamus Arab-Indonesia-Inggris tersebut tidak jelas nilainya.

Jika merujuk keterangan mantan Wakil Badan Intelijen Negara As'Ad Ali yang membeli 6000 ekslempar kamus tersebut, maka nilai uang yang diperoleh Attabik dari penjualan kamus itu hanya Rp 3 miliar. Hal ini didasari pernyataan Attabik yang mengaku menjual kamus dengan harga sekitar Rp 450.000 hingga Rp 500.000 per lembar.

Selain memutuskan penyitaan lahan milik Pesantren Krapyak, majelis hakim meminta jaksa KPK mengembalikan dua bidang lahan atas nama kakak ipar Anas, Dina Zad. Menurut hakim, dua bidang lahan tersebut tidak berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang yang menjerat Anas.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis penjara delapan tahun ditambah denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Anas. Hakim juga meminta Anas membayar uang pengganti sekitar Rp 57,5 miliar dan 5,2 juta dollar AS. Putusan majelis hakim Tipikor atas perkara Anas jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa.

Sebelumnya, tim jaksa KPK menuntut Anas dihukum 15 tahun penjara. Jaksa juga menuntut Anas untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 94 miliar dan 5,2 juta dollar AS. Menurut majelis hakim, Anas terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan subsider, yakni Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Dia dinyatakan terbukti menerima pemberian hadiah hadiah atau janji yang patut diduga jika pemberian itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan Anas. Hadiah yang diterima Anas di antaranya uang Rp 2,2 miliar dari Adhi Karya, Rp 25,3 miliar dan 36.000 dolalr AS dari Grup Permai, serta peneriman lainnya berupa Toyota Harrier, Vellfire, dan fasilitas berupa survei pencalonan Anas sebagai ketua umum Partai Demokrat dari Lingkaran Survei Indonesia.

Hakim menilai Anas memiliki pengaruh dalam mengatur proyek APBN mengingat jabatannya sebagai ketua DPP Partai Demokrat bidang politik pada 2005. Pengaruh Anas ini semakin besar setelah dia terpilih sebagai anggota DPR dan ditunjuk sebagai ketua fraksi. Hakim juga menyatakan Anas terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan kedua yang memuat Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP. Meskipun demikian, majelis hakim Tipikor menolak tuntutan jaksa KPK untuk mencabut hak politik Anas. Menurut hakim, penilaian mengenai layak tidaknya seseorang dipilih dalam jabatan publik merupakan kewenangan publik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Nasional
PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

Nasional
Ganjar Tanggapi Ide Presidential Club Prabowo: Bagus-bagus Saja

Ganjar Tanggapi Ide Presidential Club Prabowo: Bagus-bagus Saja

Nasional
6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

Nasional
Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Nasional
PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

Nasional
Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Nasional
Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Tak Jadi Ajang 'Sapi Perah'

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Tak Jadi Ajang "Sapi Perah"

Nasional
Ganjar Deklarasi Jadi Oposisi, Budiman Sudjatmiko: Kalau Individu Bukan Oposisi, tapi Kritikus

Ganjar Deklarasi Jadi Oposisi, Budiman Sudjatmiko: Kalau Individu Bukan Oposisi, tapi Kritikus

Nasional
Telat Sidang, Hakim MK Kelakar Habis 'Maksiat': Makan, Istirahat, Shalat

Telat Sidang, Hakim MK Kelakar Habis "Maksiat": Makan, Istirahat, Shalat

Nasional
Ditanya Kans Anies-Ahok Duet pada Pilkada DKI, Ganjar: Daftar Dulu Saja

Ditanya Kans Anies-Ahok Duet pada Pilkada DKI, Ganjar: Daftar Dulu Saja

Nasional
Ke Ribuan Perwira Siswa, Sekjen Kemenhan Bahas Rekonsiliasi dan Tampilkan Foto Prabowo-Gibran

Ke Ribuan Perwira Siswa, Sekjen Kemenhan Bahas Rekonsiliasi dan Tampilkan Foto Prabowo-Gibran

Nasional
Resmikan Tambak BINS, Jokowi: Ini Langkah Tepat Jawab Permintaan Ikan Nila yang Tinggi

Resmikan Tambak BINS, Jokowi: Ini Langkah Tepat Jawab Permintaan Ikan Nila yang Tinggi

Nasional
Terus Berpolitik, Ganjar Akan Bantu Kader PDI-P yang Ingin Maju Pilkada

Terus Berpolitik, Ganjar Akan Bantu Kader PDI-P yang Ingin Maju Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com