KOMPAS.com - Isu pemilihan kepala daerah dan mundurnya Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari Partai Gerindra tidak hanya hangat dibicarakan di Indonesia. Di Beijing, Tiongkok, yang terpisah ribuan kilometer jauhnya, kedua isu ini rupanya juga menjadi perhatian para mahasiswa Indonesia di sana.
Dengan teknologi informasi yang kian canggih, tidak sulit bagi mereka untuk mengetahui kedua berita tersebut. Seperti sebagian besar publik di Tanah Air, mereka pun resah, khawatir, demokrasi yang selama ini telah susah payah dibangun justru bergerak mundur.
Kedatangan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh ke Tiongkok untuk menemui warga negara Indonesia di Beijing, Rabu (10/9/2014), menjadi kesempatan bagi mereka melampiaskan perasaan dan pikirannya.
"Dengan adanya rencana pilkada tidak langsung oleh DPRD, berarti ada yang mau merebut demokrasi dari rakyat untuk kepentingan sendiri. Nasdem harus memiliki strategi untuk mencegah hal ini,” ujar Ernst Adhikara Chandra, mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Beijing.
Mahasiswa Indonesia lainnya, Audi Ghozalli, juga menyatakan kekecewaannya. Apalagi, figur idolanya, Ahok pun mundur dari Gerindra, partai yang mengusungnya menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Menjawab pertanyaan itu, Surya yang partainya kini masih berada di luar parlemen hanya bisa berharap Rancangan Undang-Undang Pilkada tidak dipaksakan untuk disahkan. ”Perlu ada urun rembuk, membahas bersama lebih dalam, untung-rugi dari setiap mekanisme pilkada, bagi kepentingan nasional,” katanya.
Berada di negeri orang, dan telah tinggal sekian lama di sana, tidak membuat Ernst, Audi, dan banyak warga Indonesia lainnya di Beijing hilang kepedulian akan apa yang terjadi di Tanah Air, apalagi ada kebijakan yang merugikan rakyat. Mereka terus memperjuangkannya melalui setiap tokoh/pejabat yang datang.
”Ini bentuk kecintaan kami pada Tanah Air,” tutur Ernst, yang sudah 10 tahun tinggal di Beijing.
Cinta tak surut
Rasa cinta itu pula yang ditunjukkan sedikitnya 15 warga diaspora Indonesia. Malam itu, mereka yang berusia lebih dari 70 tahun, menyanyikan sejumlah lagu Indonesia, seperti ”Potong Bebek Angsa” dan ”Jayalah Indonesia”. Meski usia sudah lanjut, semangat mereka sama sekali tidak tampak surut.
Mereka adalah bagian dari warga negara Indonesia yang sebelum tragedi 30 September 1965 berada di Tiongkok. Sebagian besar dari mereka sedang mengambil beasiswa di sejumlah perguruan tinggi di sana. Namun, saat peristiwa itu terjadi, banyak yang dikaitkan dengan peristiwa kelam itu sehingga mereka tidak bisa kembali ke Tanah Air. Akhirnya, mereka terpaksa menjadi warga negara Tiongkok.
”Sudah terlalu lama saya tinggal di Tiongkok, tidak bisa lagi kembali tinggal di Indonesia. Meski demikian, saya masih cinta Indonesia. Perasaan itu sulit hilang meski rasanya sedih sekali,” ujar Chen Gang (80), yang sejak 1990 sudah empat kali berkunjung ke Indonesia. (A Ponco Anggoro)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.