"Dari awal kami berharap pemilu presiden satu putaran. Keputusan MK hari ini menjadikan semua aturan semakin tegas," kata Edhy di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat, Kamis (3/7/2014).
Edhy mengaku, kabar akan adanya pilpres bisa terjadi dua putaran sempat membingungkan kubu Prabowo-Hatta. Putusan MK ini menurut dia melegakan. "Kalau pilpres dua putaran, itu sangat sulit terjadi karena berbagai hal di lapangan. Selain itu, dua putaran sangat memberatkan dalam banyak sisi," kata dia.
Pemilu presiden satu putaran, imbuh Edhy, juga akan menghemat banyak hal bagi Indonesia. Selain menghemat anggaran, kata dia, Indonesia juga tak perlu membuang waktu yang lama untuk memilih presiden dan wakil presiden. "Banyak yang jadi efisien dan tak perlu menghamburkan anggaran."
MK mengabulkan permohonan uji materi atas Pasal 159 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, Pemilu Presiden 9 Juli 2014 diputuskan berlangsung hanya satu putaran karena hanya ada dua calon pasangan, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Pasal 159 ayat 1 UU Pemilu Presiden menyatakan "Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu presiden dan wakil presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia".
Uji materi mempersoalkan syarat perolehan suara 20 persen di setengah jumlah provinsi dalam pasal tersebut. "Pasal itu tidak berlaku untuk hanya terdiri dua pasang calon," kata Ketua MK Hamdan Zoelva.
Hamdan mengatakan, bila hanya dua pasangan calon, pemenang pemilu adalah peraih suara terbanyak yang dianggap telah mewakili semua daerah di Indonesia. Permohonan uji materi itu diajukan oleh Forum Pengacara Konstitusi yang diwakili oleh Andi M Asrun.
Pemohon menilai ketentuan yang termuat dalam Pasal 159 ayat 1 merupakan bagian dari konstruksi hukum bersama Pasal 6A ayat 3, Pasal 6A ayat 4, dan Pasal 159 ayat 2 UU Pilpres.
Menurut mereka, konstruksi hukum tersebut mengharapkan pasangan lebih dari dua calon sehingga dua yang terbanyak kemudian maju dua putaran. Ketentuan itu dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum saat peserta pilpres hanya dua calon.