Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/06/2014, 17:38 WIB


Oleh: Yasraf Amir Piliang

KOMPAS.com - Pemilihan Umum Presiden 9 Juli 2014 merupakan batu ujian terhadap demokrasi, sekaligus penentu ke arah mana demokrasi akan dibawa di masa depan. "Aura-aura demokrasi" sudah mulai dapat dibaca dari penampakan luar, tuturan, serta gestur capres dan cawapres. Kemampuan mengelola "gestur politik" jadi penentu dalam kompetisi menuju kursi kepemimpinan tertinggi negara-bangsa.

Pilpres kali ini meninggalkan enigma: sosok ideal pemimpin seperti apa yang pantas memimpin bangsa? Dimensi-dimensi kesadaran dan ketaksadaran para capres dan cawapres muncul ke permukaan dalam aneka wacana, debat, pidato, pernyataan, wawancara, talk show, komunikasi, dan interaksi head to head di antara mereka. Gestur-gestur ini menunjukkan karakter diri dan subyektivitas mereka sebagai penanda "gaya kepemimpinan" jika terpilih sebagai pemimpin bangsa.

Karena dalam pilpres yang dipilih adalah individu, "aura-aura individu" kini lebih dominan ketimbang ideologi partai. Dimensi-dimensi fisik, penampilan luar, pakaian, simbol, kemampuan komunikasi, gaya bahasa, logika berpikir, gestur, bahasa tubuh, dan gaya hidup para calon pemimpin jadi faktor penentu penting dalam kompetisi politik. Waktu yang relatif singkat menjadi tantangan besar bagi para kontestan dalam memoles "aura politik" sebagai modal penting kontestasi politik.

Penampilan diri para calon pemimpin di ranah publik tak ditentukan oleh diri itu sendiri an sich, tetapi juga oleh kekuatan di luar diri yang secara tak sadar membentuk diri. Di satu pihak, calon pemimpin membangun konsep ”diri” dengan mengidentifikasi diri—misalnya melalui pencitraan— sesuai lukisan tentang ”ego ideal” atau ”pemimpin ideal” meski itu bukan lukisan diri sesungguhnya.

Di pihak lain, calon pemimpin dituntut menempatkan diri sebagai ”diri sosial” yang harus patuh terhadap dan menampilkan dirinya agar selaras dengan aneka norma, aturan, kebiasaan, habit, adat, ajaran, habitus, dan keyakinan umum. Di sini, ia harus membangun dirinya sebagai ”ideal ego”, diri yang diterima secara sosial, karena dianggap memenuhi syarat dari apa yang diterima sebagai ”kebaikan umum” oleh masyarakat. Para calon pemimpin berada dalam kondisi ”tegangan” di antara dua kekuatan eksternal ini: antara membangun ego-ideal dan ideal-ego.

Di satu pihak, untuk membangun ego-ideal, calon pemimpin harus hidup dalam tataran ”imajiner”, tataran tempat ia membayangkan dan menampilkan diri sebagai diri ideal menurut pandangannya. Melukiskan diri ”dekat dengan rakyat”, ”merakyat”, atau ”Macan Asia” adalah lukisan ideal tentang diri sebagai pemimpin. Di pihak lain, ia harus pula membangun dirinya pada tataran ”simbolik”, tataran ketika ia harus menampilkan, mengucapkan, dan melakukan apa pun sesuai apa yang diterima sebagai ideal oleh publik (Lacan, 1993). Apa yang dianggap ideal seorang calon pemimpin boleh jadi beda dengan yang dianggap ideal berdasarkan pandangan umum. Terbentuk jurang dalam antara imajinasi dan kenyataan.

Di sini ada dua tipe pemimpin. Pertama, pemimpin yang menempatkan diri pada ”tataran simbolik”: aturan, norma, kebiasaan, pandangan umum, budaya publik, habitus, dan common sense. Ia patuh pada ”penanda besar”, yaitu pada segala sesuatu yang dianggap ”umum”, ”normal” atau ”universal”: prinsip dasar, prosedur, norma, hierarki, protokol. Pemimpin macam ini berpeluang menjaga stabilitas, tetapi dapat terjebak sifat prosedural, birokratis, linier, dan tak kreatif.

Kedua, pemimpin yang menempatkan diri sebagai ”kontra-tataran simbolik” dengan mengusung revolusi, pembongkaran, dan dekonstruksi terhadap sistem pengetahuan umum dengan merayakan segala yang direpresi, ditekan, dimarjinalkan, dipinggirkan, tak normal atau tak sesuai kebiasaan umum, dengan menampilkan diri secara alamiah. Pemimpin macam ini membuka luas pintu kreativitas dengan risiko dapat menciptakan instabilitas karena cenderung asyik dengan diri sendiri.

Ruang antagonisme

Debat dalam konteks pilpres adalah arena pertarungan gagasan di antara para kontestan untuk menguji kemampuan mengomunikasikan gagasan, strategi, dan langkah implementasinya. Karena itu, materi perdebatan semestinya komprehensif agar dapat menggali totalitas kompetensi calon pemimpin. Amat disayangkan, dalam seluruh tema perdebatan pilpres, tak ada tema kebudayaan, padahal pemahaman serta penghayatan atas manusia dan kebudayaan adalah kompetensi paling mendasar seorang pemimpin.

Tak adanya tema manusia dan kebudayaan ini menyebabkan sulit menilai dimensi-dimensi ”humanis” para kontestan, yaitu bagaimana mereka memperlakukan sesama lawan politik sebagai ”manusia”. Marjinalisasi terhadap dimensi manusia dan kebudayaan ini menjauhkan perdebatan dari esensi politik itu sendiri, yaitu politik sebagai ”antagonisme”, saat relasi antara ”kita” dan ”mereka” dalam pertarungan politik dibingkai melalui bingkai respek terhadap sesama manusia. Antagonisme politik mensyaratkan, lawan politik bukan ”musuh” yang harus dimusnahkan, melainkan ”adversari”, yaitu manusia yang eksistensi mereka sah secara politik, yang gagasan politiknya kita tentang, tetapi hak politik mereka untuk mempertahankan gagasan itu kita hargai (Mouffe, 1993). Esensi debat politik adalah manifestasi antagonisme antara capres dan cawapres, saat pandangan dan gagasan politik lawan diserang, tetapi eksistensinya dihargai sebagai manifestasi budaya luhur politik.

Absennya dimensi manusia dan kebudayaan dalam arena pilpres kali ini kian diperparah aneka ”kampanye virtual” di dalam media sosial yang kontra-antagonistik. Di sana, lawan politik diperlakukan sebagai ”musuh” yang harus dihancurkan dengan membunuh karakter mereka secara ekstrem dengan membuka segala keburukan, aib, dan rahasia pribadi, dengan menyebar segala fitnah dan tuduhan palsu, serta dengan mengumbar segala kebencian secara vulgar sehingga sempurnalah arena pilpres yang tanpa nilai luhur budaya politik.

Di media sosial, ”kekerasan simbol” tumbuh melampaui etika politik yang sehat yang meruntuhkan kategori-kategori etika politik tentang apa yang dianggap baik/buruk, benar/salah, pantas/tak pantas. ”Kebenaran politik” di media sosial bergerak ke titik ekstrem, nyaris tak dapat lagi dibedakan antara yang benar dan salah, asli dan palsu, atau alamiah dan rekayasa, ”Rezim kebenaran” dikendalikan oleh kekuatan simulasi media sosial yang mengancam kebenaran politik. Media sosial jadi ruang subur tumbuhnya ”kampanye hitam”, yaitu bentuk-bentuk kampanye mengumbar sisi-sisi gelap dari lawan politik. Sisi-sisi ini boleh jadi merupakan fakta, tetapi lebih sering merupakan rekayasa verbal atau visual yang dikembangkan berupa ”imajinasi-imajinasi gelap” tentang individu atau kelompok, sebagai cara membunuh karakter lawan politik. Pembunuhan karakter macam ini menodai prinsip dasar politik sebagai arena antagonisme.

Imajinasi politik

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PPP Diminta Segera Tentukan Sikap terhadap Pemerintahan Prabowo Lewat Mukernas

PPP Diminta Segera Tentukan Sikap terhadap Pemerintahan Prabowo Lewat Mukernas

Nasional
PKS: Masalah Judi Online Sudah Kami Teriakkan Sejak 3 Tahun Lalu

PKS: Masalah Judi Online Sudah Kami Teriakkan Sejak 3 Tahun Lalu

Nasional
Dompet Dhuafa Banten Adakan Program Budi Daya Udang Vaname, Petambak Merasa Terbantu

Dompet Dhuafa Banten Adakan Program Budi Daya Udang Vaname, Petambak Merasa Terbantu

Nasional
“Care Visit to Banten”, Bentuk Transparansi Dompet Dhuafa dan Interaksi Langsung dengan Donatur

“Care Visit to Banten”, Bentuk Transparansi Dompet Dhuafa dan Interaksi Langsung dengan Donatur

Nasional
Perang Terhadap Judi 'Online', Polisi Siber Perlu Diefektifkan dan Jangan Hanya Musiman

Perang Terhadap Judi "Online", Polisi Siber Perlu Diefektifkan dan Jangan Hanya Musiman

Nasional
Majelis PPP Desak Muktamar Dipercepat Imbas Gagal ke DPR

Majelis PPP Desak Muktamar Dipercepat Imbas Gagal ke DPR

Nasional
Pertama dalam Sejarah, Pesawat Tempur F-22 Raptor Akan Mendarat di Indonesia

Pertama dalam Sejarah, Pesawat Tempur F-22 Raptor Akan Mendarat di Indonesia

Nasional
Di Momen Idul Adha 1445 H, Pertamina Salurkan 4.493 Hewan Kurban di Seluruh Indonesia

Di Momen Idul Adha 1445 H, Pertamina Salurkan 4.493 Hewan Kurban di Seluruh Indonesia

Nasional
KPK Enggan Tanggapi Isu Harun Masiku Hampir Tertangkap Saat Menyamar Jadi Guru

KPK Enggan Tanggapi Isu Harun Masiku Hampir Tertangkap Saat Menyamar Jadi Guru

Nasional
Tagline “Haji Ramah Lansia” Dinilai Belum Sesuai, Gus Muhaimin: Perlu Benar-benar Diterapkan

Tagline “Haji Ramah Lansia” Dinilai Belum Sesuai, Gus Muhaimin: Perlu Benar-benar Diterapkan

Nasional
Kondisi Tenda Jemaah Haji Memprihatikan, Gus Muhaimin Serukan Revolusi Penyelenggaraan Haji

Kondisi Tenda Jemaah Haji Memprihatikan, Gus Muhaimin Serukan Revolusi Penyelenggaraan Haji

Nasional
Pakar Sebut Tak Perlu Ada Bansos Khusus Korban Judi 'Online', tapi...

Pakar Sebut Tak Perlu Ada Bansos Khusus Korban Judi "Online", tapi...

Nasional
Harun Masiku Disebut Nyamar jadi Guru di Luar Negeri, Pimpinan KPK: Saya Anggap Info Itu Tak Pernah Ada

Harun Masiku Disebut Nyamar jadi Guru di Luar Negeri, Pimpinan KPK: Saya Anggap Info Itu Tak Pernah Ada

Nasional
Eks Penyidik: KPK Tak Mungkin Salah Gunakan Informasi Politik di Ponsel Hasto

Eks Penyidik: KPK Tak Mungkin Salah Gunakan Informasi Politik di Ponsel Hasto

Nasional
Jemaah Haji Diimbau Tunda Thawaf Ifadlah dan Sa'i Sampai Kondisinya Bugar

Jemaah Haji Diimbau Tunda Thawaf Ifadlah dan Sa'i Sampai Kondisinya Bugar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com