Oleh: Mohammad Abduhzen
Dekadensi akal pikiran merupakan bencana batin yang paling besar bagi bangsa. Karakter bangsa menjadi lemah, imperialisme dengan mudah menancapkan kukunya di bumi pertiwi.
(Bung Karno, 1956. Indonesia Menggugat: 129-133)
KOMPAS.com - Calon presiden Joko Widodo (Jokowi) menulis di harian ini (10/5/2014) bahwa kita memerlukan revolusi mental sebagai paradigma baru dalam menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa yang terus galau ini.
Menurut Jokowi, selama 16 tahun menjalankan reformasi, kita hanya mencapai kemajuan sebatas kelembagaan. Pembangunan belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dari manusia yang menjalankan sistem sehingga nation building tak mengantarkan Indonesia pada cita-citanya.
Revolusi mental itu berdasarkan konsep Trisakti Bung Karno, yaitu (1) Indonesia yang berdaulat secara politik, (2) mandiri secara ekonomi, dan (3) berkepribadian secara sosial-budaya. Revolusi mental harus dimulai dari diri kita sendiri, lingkungan keluarga, tempat tinggal, lingkungan kerja, kemudian meluas ke lingkungan kota dan negara. Untuk itu, lanjut Jokowi, revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional.
Empat aspek penting
Meski gagasan itu terasa masih mengambang, saya sependapat dengan revolusi mental sebagai paradigma pembangunan mendatang. Pertama, ide ini menukik pada simpul masalah dan penyumbat kemajuan bangsa selama ini. Masalah utama bangsa sudah sangat jelas, yakni kualitas manusia yang kini lebih "dikapitaliskan" dengan sebutan modal manusia.
Kita hampir tak memiliki masalah ketersediaan sumber daya alam dan kuantitas penduduk sebagai basis perekonomian. Namun, karena manusia diposisikan sebagai barang ekonomi belaka dan mentalitas tak pernah jadi fokus serius pembangunan, berkembanglah aneka virus di jiwa yang menjadikan manusia Indonesia bukan saja tak mampu menjaga dan memanfaatkan beragam kekayaannya, melainkan juga jadi penyebab keterpurukan bangsanya sendiri.
Kedua, sejak Orde Baru, paradigma pembangunan kita selalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, meski begitu, kesejahteraan tak kunjung dirasakan rakyat. Klaim-klaim kemajuan ekonomi hanya gelembung rapuh sehingga mudah kolaps ketika diterpa krisis dan sukar pulih.
Soedjatmoko, di awal 1970-an, telah mengingatkan bahwa model pembangunan ekonomi yang dijalankan itu tidak mengarah dan berakar pada kebudayaan kita sendiri. Kemajuan yang dicapai tak memegang peranan dalam alam pikiran bangsa kita, tak memupuk kepercayaan diri. Menurut Soedjatmoko, kita perlu memandang pembangunan ekonomi dalam rangka kebulatan kehidupan bangsa atau dalam kerangka kebudayaan kita.
Ketiga, revolusi mental menuntut perombakan sistem pendidikan nasional secara fundamental, total, dan gradual. Pendidikan harus dinomorsatukan sebagai episentrum perekayasaan kemanusiaan dalam gerak sentrifugal pencapaian tujuan kenegaraan, seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Ini sejalan dengan konstitusi yang menetapkan negara harus memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD.
Dengan platform Revolusi Mental, pemerintah kelak tak sekadar meneruskan apa yang ada, tapi juga berani mengoreksi kebijakan pendidikan kita yang sangat parah, di antaranya kebijakan ujian nasional yang digagas dan dibela dengan gigih oleh Jusuf Kalla. Selain itu, pemerintah nantinya tak secara instan menjadikan berbagai gagasan yang sepintas tampak keren—seperti daya saing, persentase pendidikan karakter, atau kementerian perguruan tinggi dan riset—sebagai platform karena substansinya tak koheren, bahkan kontra produktif dengan ide revolusi mental yang diinginkan.
Keempat, secara empirik, sejarah kemajuan bangsa-bangsa di dunia sering kali diawali oleh revolusi mental yang terekspresi sebagai revolusi ilmu pengetahuan, revolusi pemikiran, atau revolusi kebudayaan. Titik awal kemajuan bangsa Jepang, misalnya, adalah Restorasi Meiji yang mengubah mentalitas feodalisme ke arah modernisme melalui pendidikan. Malaysia, tetangga kita, di era Mahathir Mohamad, melakukan gerakan "Melayu Baru" mulai 1971 yang dibarengi kebijakan "afirmatif" ekonomi baru yang dikenal dengan New Economic Policy. "Tantangan terpenting dan tersulit adalah di bidang kebudayaan. Bahkan, dengan kebijakan ekonomi dan peluang baru, perubahan ini tidak akan terwujud tanpa pemupukan terhadap nilai-nilai baru tertentu... Modernisasi pikiran merupakan prasyarat bagi modernisasi ekonomi,” kata Mahathir (1999).
Mulai dari pemikiran