Daftar gugatan yang masuk ke Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar menyatakan, Provinsi Aceh dan Provinsi Papua yang paling banyak mengajukan gugatan.
Rudi menyebut, ada 8 gugatan perkara yang diajukan oleh Provinsi Papua, 1 gugatan dari Provinsi Papua Barat, dan 4 gugatan dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Ia menyatakan, sistem pemilu noken yang diterapkan di Papua rawan menimbulkan perkara. Dalam sistem noken, kepala suku mewakili warganya untuk memberikan suara pada caleg terpilih.
Misalnya, Rudi mencontohkan, kepala suku dan warga berembuk bersama untuk memilih calon A. Lalu sang kepala suku akan mencoblos surat suara yang ada di tempat pemungutan suara untuk calon A.
"Ini aneh bisa 100 persen DPT (daftar pemilih tetap) itu memberi suara semua padahal kan hampir di seluruh indonesia tidak ada yang 100 persen," katanya heran.
Rudi menyayangkan sikap Mahkamah Konstitusi yang mengakomodasi sistem pemilihan tersebut karena dianggap sebagai tradisi pemilu di sana. Jika hal ini terus dianggap sah, kata Rudi, perkara di Papua akan terus berlanjut dalam pemilu berikutnya.
Rudi mengatakan, saat ini beberapa caleg dari Papua yang merasa dirugikan atas hasil pemilu legislatif kemarin bentrok pendapat. Bahkan, kepala suku mereka pun dibawa serta untuk memperkuat gugatan.
"Mereka datang dengan datanya masing-masing yang memang benar semua. Jadi kita tidak tahu mana yang benar," ujar Rudi.
Sementara itu, Rudi mengatakan, pengamanan pemilu di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam lemah. Ruddy menduga hal itu menyebabkan suara di tingkat TPS mudah direkayasa.
"Kondisi pengamanan di sana berbeda dengan di sini. Di sana yang mengawasi bukan KPU (Komisi Pemilihan Umum) namanya, tapi KIP (Komisi Independen Pemilihan)," ujar Rudi. "Saya belum kaji ini secara mendalam, tapi tidak ada yang DPR RI. Rata-rata DPRD," lanjutnya.