Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Pilih Caleg atau Partai yang Lakukan Politik Uang

Kompas.com - 08/04/2014, 23:55 WIB
Meidella Syahni

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, mengingatkan masyarakat agar tidak memilih calon anggota legislatif ataupun partai politik yang melakukan politik uang. Menurutnya, caleg atau partai yang melakukan politik uang berpotensi melakukan korupsi jika terpilih.

"Karena menjadi wakil rakyat bukan panggilan hati mereka. Mereka hanya mencari kesempatan untuk kebutuhan penghasilan mereka sendiri. Karena itu, modal money politic yang mereka keluarkan sebelum pemilihan akan mereka cari gantinya lewat korupsi," ujar Emrus kepada Kompas.com, Selasa (8/4/2014) di Jakarta.

Menurut Emrus, sentra korupsi yang menggurita baik di pemerintahan maupun legislatif saat ini berawal dari pengelolaan partai politik yang tidak profesional.

"Oleh karena itu, bagi mereka yang tidak cukup populer, politik uang merupakan satu-satunya cara agar bisa terpilih," katanya.

Berbagai modus politik uang saat ini, menurut Emrus, telah merusak pola pikir dan tatanan hidup masyarakat dalam berpolitik. Seharusnya, ada sinergi antara Badan Pengawas Pemilu dan Polri untuk menangkap pelaku dan penerima uang terkait Pemilu 2014.

"Bawaslu itu anggotanya sedikit, dan polisi seharusnya tidak hanya mengamankan. Jadi, keduanya perlu bekerja sama untuk memastikan mereka yang membayar untuk mendapatkan suara tidak bisa duduk di parlemen karena apa yang mereka lakukan terhadap pemilu ini lebih berbahaya dari korupsi. Mereka mencederai demokrasi lima tahun ke depan," papar Emrus.

Jika tidak ada peringatan dari Bawaslu dan Polri untuk memidanakan pelaku dan penerima uang dalam pemilihan, Emrus memprediksi "serangan fajar" masih akan terjadi pada pagi hari menjelang pemungutan suara.

"Ada juga caleg yang menyarankan terima uangnya dari caleg atau partai lain, tapi pilih sesuai pilihan masyarakat. Ini pesan yang merusak dan mereka tidak pantas jadi wakil rakyat. Seharusnya, mereka berikan pendidikan politik untuk menolak uang atau apa pun bentuk money politic yang diberikan," kata Emrus.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir 135 kasus politik uang yang terjadi di 15 daerah di Indonesia. Salah satu modus yang dilakukan kandidat adalah dengan memasang jaringan untuk memastikan suara dengan target tertentu. Di Riau, salah satu caleg membayar Rp 2 juta untuk 10 suara. Jaringan dan pemilih akan dibayar setelah pemilihan berlangsung (pascabayar).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polisi 4 Negara Kerjasama Demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polisi 4 Negara Kerjasama Demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

Nasional
KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

Nasional
Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Nasional
KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

Nasional
KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

Nasional
Kontak Senjata hingga Penyanderaan Pesawat, Rintangan Pemilu 2024 di Papua Tengah Terungkap di MK

Kontak Senjata hingga Penyanderaan Pesawat, Rintangan Pemilu 2024 di Papua Tengah Terungkap di MK

Nasional
Jaksa KPK Sebut Dana Rp 850 Juta dari SYL ke Nasdem untuk Keperluan Bacaleg

Jaksa KPK Sebut Dana Rp 850 Juta dari SYL ke Nasdem untuk Keperluan Bacaleg

Nasional
Nostalgia Ikut Pilpres 2024, Mahfud: Kenangan Indah

Nostalgia Ikut Pilpres 2024, Mahfud: Kenangan Indah

Nasional
Gibran Beri Sinyal Kabinet Bakal Banyak Diisi Kalangan Profesional

Gibran Beri Sinyal Kabinet Bakal Banyak Diisi Kalangan Profesional

Nasional
Menag Bertolak ke Saudi, Cek Persiapan Akhir Layanan Jemaah Haji

Menag Bertolak ke Saudi, Cek Persiapan Akhir Layanan Jemaah Haji

Nasional
Ide 'Presidential Club' Prabowo: Disambut Hangat Jokowi dan SBY, Dipertanyakan oleh PDI-P

Ide "Presidential Club" Prabowo: Disambut Hangat Jokowi dan SBY, Dipertanyakan oleh PDI-P

Nasional
Ganjar Pilih Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Hampir Dipastikan Berada di Luar Pemerintahan Prabowo

Ganjar Pilih Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Hampir Dipastikan Berada di Luar Pemerintahan Prabowo

Nasional
Jemaah Haji Kedapatan Pakai Visa Non Haji, Kemenag Sebut 10 Tahun Tak Boleh Masuk Arab Saudi

Jemaah Haji Kedapatan Pakai Visa Non Haji, Kemenag Sebut 10 Tahun Tak Boleh Masuk Arab Saudi

Nasional
BNPB Tambah 2 Helikopter untuk Distribusi Logistik dan Evakuasi Korban Longsor di Sulsel

BNPB Tambah 2 Helikopter untuk Distribusi Logistik dan Evakuasi Korban Longsor di Sulsel

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com