JAKARTA, KOMPAS.com — Masyarakat Indonesia cenderung masih menganggap pemberian uang pelicin sebagai hal kecil yang lumrah. Penegak hukum pun belum menaruh perhatian lebih terhadap pemberian uang pelicin yang marak terjadi di lingkungan birokrasi tersebut.
"Uang pelicin masih banyak disalahartikan karena orang masih menganggap ini uang kecil yang enggak penting dan penegak hukum juga enggak punya perhatian terhadap isu ini," kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisansongko dalam acara peluncuran buku Indonesia Bersih Uang Pelicin di Jakarta, Kamis (27/3/2014).
Menurut Dadang, dari hasil riset yang dilakukan sejumlah lembaga penelitian, uang pelicin di Indonesia besarnya sekitar 30 persen dari biaya produksi. Untuk setiap produk yang nilainya Rp 1 juta, misalnya, sebesar Rp 300.000 dari harga produk tersebut merupakan modal yang dikeluarkan produser untuk membayarkan uang pelicin terkait perizinan usaha. Uang pelicin ini akhirnya menjadi beban bagi masyarakat.
"Ini bukan ngomong soal keuangan negara, tetapi beban kepada dunia usaha, konsumen, dan masyarakat jumlahnya besar. Kalau dihitung, dalam satu tahun, jumlahnya satu kali APBN kita," ujar Dadang.
Direktur Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi Giri Suprapdiono mengatakan, uang pelicin cenderung dipandang masyarakat sebagai sesuatu yang sepele untuk mempercepat proses di lingkungan birokrasi. Padahal, menurut Giri, tindak pidana korupsi berawal dari hal-hal yang kecil semacam uang pelicin tersebut.
"Akar korupsi, gratifikasi, berasal dari yang kecil-kecil, orang merasa wajar. Kasus penghulu di Kediri, misalnya, orang menganggapnya kecil, Rp 50.000, atau Rp 20.000, tetapi setelah terkumpul jumlahnya bisa jadi ratusan juta (rupiah), bahkan miliaran (rupiah)," ujar Giri dalam acara yang sama.
Untuk mencegah tindak pidana korupsi terkait uang pelicin ini, menurut Giri, KPK memandang perlu untuk mengawasi sektor swasta. Tak jarang kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK melibatkan pihak swasta.
"Kita cenderung melarang orang menerima tanpa mencegah pemberinya. Enggak mungkin PNS menerima tanpa ada orang yang menggoda. Swasta menjadi faktor penting dari sisi suplai," ujar Giri.
Dalam 10 tahun terakhir, katanya, sebanyak 23 persen kasus yang ditangani KPK melibatkan pihak swasta. Sebanyak 94 orang dari pihak swasta, menurut Giri, dipenjara karena terjerat kasus korupsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.